adab murid terhadap guru dalam kitab ihya ulumuddin
Indrawan Prydar Sakti (2018) Konsep Akhlak Guru Terhadap Murid Dalam Konteks Pendidikan Zaman Modern Perspektif Imam Ghozali Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin.Skripsi. Other thesis, IAIN SALATIGA. Irawan, Andrean Odiansyah (2018) Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual Dalam Buku Fihi Ma Fihi Karya Jalaluddin Rumi. Other thesis, IAIN
2Penyampaian wasiat oleh guru kepada Murid. 3.Pernyataan guru membay’at muridnya diterima menjadi murid dengan lafadz tertentu. 4.Pembacaan do’a oleh guru yang terdiri dari do’a umum dan do’a khusus. 5.Pemberian minum oleh guru kepada murid sambil dibacakan beberapa ayat Al-Quran.
ProfilSheikh Muda waly al Khalidy An Naqsyabandy Al Asyiy Syeikh Muda Waly Al khalidy dilahirkan diDesa Blang poroh,kecamatan Labuhan Haji,kabupaten Aceh Selatan,pada tahun 1917.Beliau adalah putra bungsu dari Sheikh H.Muhammad Salim bin Malin Palito.Ayah beliau berasal dari Batu sangkar,Sumatra Barat.Beliau datang keAceh Selatan selaku da`i
Penelitianini bertujuan untuk (1) mengetahui konsep adab murid dan guru menurut imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, (2) mengetahui bagaimana keutamaan seorang guru menurut imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin. Penelitian yang dilakukan oleh Bahrul Ilmi ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang penulis miliki, yakni sama-sama
ImamAl-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan Hujjatul Islam (argumentator Islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga Islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme Yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang
Didalamkitab Ihya Ulumuddin yang ditulis oleh Imam Al Ghazali disebutkan mengenai tiga macam ulama yang dikatakan oleh Sahl At Tustury Rahimahullah; 1. Orang yang alim terhadap perintah Allah ta’ala, tetapi tidak mengetahui hari-hari-Nya. Mereka adalah orang-orang yang berfatwa tentang halal dan haram.
Hasildari penelitian ini adalah: Pertama, pemikiran Syaikh Az-Zarnuji tentang etika murid terhadap guru dalam karyanya kitab Ta’lim Al-Muta’allim antara lain: a) Hendaknya seorang murid tidak berjalan di depan seorang guru, b) Tidak duduk di tempatnya, kecuali ada ijinya, c) Tidak memulai bicara padanya kecuali dengan ijinya, d) Hendaknya
AdabMurid terhadap guru Adab murid terhadap guru yang harus dimilikinya, supaya apa yang dicita- citakan oleh murid akan berhasil dengan baik, al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya „Ulumuddin nya, antara lain: 1 . Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. 168 Seorang murid hendaklah mendengarkan
Kurdiberpandangan bahwa maksiat yang dilakukan oleh guru dan murid berakibat besar terhadap pencapaian dan kemanfaatan (M. Imron, 2009). Ihya ulumuddin karya Al-Ghazali, dalam mengimplementasikan nilai-nilai etika guru yang terkandung dalam kitab Adab al-’Alim Wa al- Muta’allim terhadap pembentukan perilaku
Orangtua tipe ini mendominasi keputusan anak terhadap pendidikan mereka, misalnya dalam memilih sekolah atau tempat kursus. Silent Achiever. Ihya ‘Ulumuddin: III, 163. Ahmad, 12956. At Kitab Thalaq, 4892 dan Kitab Adab, 5556; Tirmizi, Kitab Barri wash Shilah, 1841. Lebih jelasnya lihat hadits Ahmad, Musnaddul Anshar, 25839 dan
. A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam pandangan islam,orang yang paling bertanggung jawab dalam perkembangan anak adalah orang tua,anak adalah bagian aset orang tua yang terpenting yang harus dirawat dan dijaga islam juga memandang pendidikan memiliki pengaruh yang besar dalam mengembangkan dan mengubah diri itu, kewajiban terpenting bagi orang tua terhadap anaknya adalah pendidikan,hal ini melibatkan beragam usaha dalam pengertian bahwa seluruh sikap dan tingkah laku orang tua harus diarahkan untuk memberikan pendidikan kepada anak secara tepat dan anak adalah merupakan wujud dari sikap dan prilaku orang tua,namun bila orang tua tidak ada waktu dalam memberikan pendidikan kepada anaknya,maka wajiblah orang tua memasrahkan kapada orang lain untuk mendidik anaknya,dalam hal ini adalah guru. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa ada 3tiga komponen yang tidak dapat dipisahkan diantara pendidikan bagi anak,yaitu Murid, Guru, dan orang tua. Dikatakan bahwa guru adalah Abu al-ruh atau abu fi ad-din bagi murid. Sedangkan orang tua adalah Abu al jasad bagi murid itu sendiri. Artinya bila seorang murid hendak mendapatkan ilmu manfaat derajat kemuliaan diakhirat, maka hendaknya berbakti sepenuhnya kepada guru,dan bila hendak mendapatkan kelapangan rizki maka hendaknya berbaktilah sepenuhnya kepada orang tua.[1] Guru adalah wakil dari orang tua,yang telah memasrahkan kepadanya dan juga merupakan faktor terpenting atas berhasil dan tidaknya murid dalam menekuni pendidikannya,karenanya guru juga ikut bertanggung jawab dalam mengoptimalkan upaya perkembangan seluruh potensi murid,baik potensi kognitif,psikomotorik, maupun afektif. Sesuai dengan nilai-nilai islam. Sehingga selain sebagai pengajar, guru juga sebagai pendidik yang bertugas sebagai motivator dan fasilitator dalam proses belajar mengajar, sehingga seluruh potensi murid dapat teraktualisasikan secara baik dan dinamis.[2] Islam sangat menghormati dan menghargai orang-oramg yang mengemban amanat dalam nasyri ilmi,dalam hal ini adalah guru, karena guru harus mampu dan berusaha sekuat tenaga dalam mencapai keberhasilan anak didiknya yang beriman menurut ukuran-ukuran moral dan etis. Selain guru, murid juga merupakan faktor penting dalam dunia pendidikan, tanpa murid maka tidak akan terlaksana proses pendidikan. Banyak terjadi pada masa lalu,alur dari pengembaraan pencarian ilmu yang tidak dapat dirasakan apalagi diserap dan diamalkan, hanya karena tidak tahu jalan untuk mendapatkan ilmu tersebut dan salah satu jalan untuk mendapatkan sebuah ilmu adalah membina hubungan, terlebih dalam adap dan tata krama antara murid dan guru. Etika atau adap maupun tata krama adalah istilah yang sama, untuk dipahami dan diresapi juga diamalkan oleh murid terhadap gurunya dan guru terhadap muridnya, apalagi di era globalisasi ilmu pengetahuan dan tehnologi berkembang sangat cepat dan hal ini juga menimbulkan perubahan-perubahan yang sangat cepat pula, dimana banyak dampak negatif terhadap murid, yang dalam hal ini murid sudah berani meninggalkan etika terhadap gurunya. Satu contoh murid sudah berani menyamakan guru pada posisi temannya dan banyak murid yang meremehkan gurunya. Sebaliknya pada masa sekarang tidak sedikit guru yang memberika hukuman terhadap muridnya, berbuat tidak senonoh dan sebagainya, padahal bila guru kencing sambil berdiri, maka murid akan kencing sambil berlari dan yang perlu kita ingat bahwa guru harus dapat digugu dan ditiru.[3] Untuk itu seorang guru harus dapat melaksanakan wadzifahnya dengan baik, selain penguasaan bahan dan materi seorang guru harus dapat dibuat contoh dan suri tauladan anak didiknya. Atas dasar tersebut banyak ahli pikir salaf membahas tentang etika murid dan guru dalam mencapai kesuksesan pembelajaran. Salah satunya Hujjah Al-Islam Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Dalam konteks ini, maka mencernati, memahami, dan mengevaluasi pemikiran al-Ghozali tentang adap murid dan guru adalah menarik untuk dibahas. B. PENEGASAN ISTILAH Agar dapat dipahami dengan baik dan tidak mengaburkan pembahasan, maka kiranya penulis berikan batasan dan penegasan istilah yang akan dipakai dalam skripsi tentang pemikiran Al-Ghozali tentang Adap Murid dan Guru Dalam Kitab Ihya’ Al-Ulumuddin juz I. 1. Al-Ghozali Al-Ghozali adalah salah satu ulama’ klasik yang hidup antara tahun 450-505 / 1058 – 1111 M. Beliau mempunyai nama lengkap Al-Imam Zainuddin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali Ath-Thusi An-Naisaburi Al Faqih Ash-Shufi Asy-Syafi’ Al-Asy’ari.[4] 2. Adap Murid Dalam kamus bahasa Indonesia terbaru, Adab adalah kesopanan.[5] Sedangkan yang dimaksud adap murid disini adalah etika atau yang harus dimiliki oleh seorang murid atau siswa peserta didik yang menimba ilmu-ilmu agama atau yang belajar di lembaga-lembaga pendidikan islam. 3. Guru Dalam bahasa indonesia terbaru, guru adalah orang yang kerjanya mengajar.[6] Sdangkan yang dimaksud guru disini adalah orang yang mengajar ilmu-ilmu agama islam di lembaga-lembaga pendidikan islam. 4. Kitab Ihya’ Al-Ulumuddin Adalah salah satu kitab karya imam Al-Ghozali, yang menjelaskan beberapa hal , antara lain hal ibadah, adab mu’amalat, ilmu, munjiyat, hikmah, pendidiksn dan yang lainya secara lengkap.[7] Jadi yang penulis maksud dengan judul “konsepsi Al-Ghozali Tentang Adap Murid dan guru dalam kitab ihya’ ulumuddin juz I” adalah etika seorang guru dan murid dalam proses belajar keberhasilan suatu pembelajaran itu tergantung bagaimana membina hubungan antara guru dan murid, terlebih terhadap adap dan tata krama diantara keduanya, maka hal ini akan ditemukan gambaran secara utuh dan komprehensif tentang konsep dan pemikiran Al-Ghozali berkaitan dengan adap murid dan guru dalam proses belajar mengajar tersebut dalam kitab karangannya yaitu kitab ihya’ ulumuddin. C. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas, maka pokok masalah yang mucul adalah sejauh mana hubungan murid dan guru hingga dapat menghasilkan ilmu yang dapat dirasakan dan dinikmati baik di dunia maupun di akhirat, juga oleh guru dalam mentransfer ilmu dapat diterima murid dengan baik ,hingga dapat mengamalkannya. Menurut Imam Ghozali, untuk mencapai jawaban atas pokok masalah tersebut, maka pertanyaan dibawah ini perlu diangkat sebagai sarana untuk menjawab pokok masalah tersebut, yaitu sebagai berikut 1. Bagaimana konsep adap murid menurutimam Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1? 2. Bagaimana konsep adab guru menurut imam Al-Ghozali Ihya’ Ulumuddin Juz 1? 3. Apa relevansi konsep adap murid dan guru dalam pencapaian belajar mengajar dewasa ini di indonesia, terutama dalam nilai-nilai adab ? D. TUJUAN PENELITIAN Adapun yang menjadi tujuan penelitan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut 1. Untuk memahami konsep adap murid menrut Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1. 2. Untuk memahami konsep adap guru menurut Al-Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juz 1. 3. Untuk menemukan relevansi konsep adap murid dan guru menurut al-Ghozali dengan pendiikan adap di indonesia saat ini. E. MANFAAT PENELITIAN Adapun manfaat atau kegunaannya,anatara lain 1. Secara teoritik, dapat menyumbangkan khazanah intelektual islam khususnya dalam pendidikan islam 2. Secara praktis, dapat memberi wawasan dan pedoman bagi para peserta didik, baik murid maupun guru dalam rangka mencari pola hubungan yang ideal berbasis adab islami. F. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian adalah 1. Jenis dan pendekatan penelitian Jenis penelitian ini merupakan library research penelitian pustaka, yaitu suatu uasaha untuk memperoleh data atau informasi yang diperlukan serta menganalisis suatu permasalahan melalui sumber-sumber kepustakaan, penulis menggunakan study kepustakaan atau library research ini dimaksudkan untuk memperoleh dan menela’ah teori-teori yang berhubungan dengan topik dan sekaligus dijadikan sebagai landasan teori.[8] Sebagai penelitian yang bercorak analisis kritis terhadap pemikiran seorang tokoh, maka penelitian ini menggunakan pendekatan historis atau pendekatan sejarah, yaitu penyelidikan yang kritis terhadap keadaan-keadaan, perkembangan-perkembagan, serta pengalaman dimasa lampau dan menimbang secara cukup teliti dan hati-hati tentang bukti validitas dari sumber sejarah serta interpretasi dari sumber-sumber keterangan tersebut,[9] sehingga setting sosial intelektual dimana ia hidup dalam hal ini pemikiran Al-Ghozali tentang adap murid dan guru menjadi faktor penting dalam penelitian ini. 2. Sumber data Jenis penelitian ini adalah library research penelitian pustaka, maka data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka adalah berupa sumber data primer dan sumber data sekunder, yaitu sebagai berikut a. Sumber data primer data primer adalah data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengambilan data langsung pada subjek informasi yang di cari.[10] sumber data primer dalam penelitian ini meliputi satu kitab yakni kitab ihya’ ulumuddin, juz awal, rubu’ pertama, bafian al-ilm,bab khomis, tentang adap murid dan guru, hal 43-52, karya Hujjah AL –islam Abu Hamid Al-Ghozali. b. Sumber data skunder data skunder adalah data yang di peroleh dari pihak lain, tidak langsung dari subjek penelitiannya, tetapi dapat mendukung atau berkaitan dengan tema yang diangkat.[11] Dalam penelitian ini data skundernya adalah antara lain Ta’limul mutallim karya Syeh Az-Zarnuji,Syarah Ta’limul Muta’alim karya Syeh Ibrahim Bin Ismail,Adabul Adim Wal Muta’allim karya Syeh Hasyim Asy’ari,Ad-Durroh Al-Mafakhiroh,Ithaf as-Sadah al –Muttaqin,Ayyuhal Walad al-Mhib karya Al-Ghozali,Tokoh-tokoh pendidikan islam di zaman jaya karya H. Nasruddin Thoha dan yang lainnya. 3. Tehnik pengumpulan data Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan, dalam hal ini akan selalu ada hubungan antara tehnik pengumpulan data dengan masalah penelitian yang ingin di data tak lain adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini, penulis menggunakan tehnik dokumenter,tehnik dokumenter merupakan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,seperti arsip-arsip,dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian,[12] yakni penulis mengumpulkan buku-buku yang yang ada hubungannya dengan pembahasan penulisan skripsi, dalam hal ini adalah kitab ihya’ ulumuddin juz I sebagai sumber utama,penelitian kepustakaan dengan menganalisa terhadapnya dan sumber lain yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pembahasan, yaitu adab murid dan guru menurut pandangan Al-Ghozali dalam kitab ihya’ uluddin juz I. 4. Tekhnik Analisis Data Dalam analisis data, penulis menggunakan metode diskriptif analisis yaitu, suatu usaha untuk mengumpulkan data dan menyusun data kemudian diusahakan adanya analisis dan interpretasi atau penafsiran terhadap data tersebut.[13] Dalam hal ini dimaksudkan untuk membuka pesan yang terkandung dalam bahasa teks, terutama kitab ihya’ ulumuddin bagian bab adab al-alim wal mutaaliim. Selanjutnya untuk mengkaji relevansi konsep adap hubungan murid dan guru menurut Al-Ghozali dengan pendidikan moral dan etika di indonesia saat ini, dilakukan analisis komparasi atau perbandingan yaitu, membandingkan terhadap beberapa segi data lain, situasi lain, dan konsepsi filosofi lain.[14] Untuk membandingkan antara konsep etika tersebut dengan kondisi pendidikan di indonesia saat ini. Jepara,07 November 2011 peneliti [1] AL-Zarmuji,Ta’limul muta’allim Semarang, Usaha Keluarga [2] Piet A Sehertian,Ida A Sehertian,Supervisi pendidikan, Jakarta Rienika Cipta, 1992, hlm 39 [3] Abi Hamid al –Ghozali 2 , Ihya’ Ulumuddin, Mesir Maktabah Isa al-Baby, [4] Al-Ghozali 3, Al-durroh Al-Fakhiroh, Bairut Mu’asasah Al-kutub Al-Tsiqofiyah,1992, hlm 6 [5] Suharto,Drs, Tata Irianto, Kamus Besar Bahasa Ndonesia Terbaru ,Surabaya Indah, 1989, [7] Sayyid Muhammad bin Muhammad, Ithaf as-Sadah AL-muttaqin Bairut Dar L fikr , [8] Hadi,MA, Metodologi research I,Yogyakarta Andi Ofset,1997, cet 25, [9] A. Nevins,Master’s Essay in History, Colombia Unis. Press, New York,1993 [10] Saifuddin Azwar, Metodologi Penelitian Yogyakarta Pustaka Pelajar Ofifset, 2004, hlm. 91 [12] Drs. Margono, Metodelogi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta 2004 [13] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik Bandung Transito, 1998, hlm. 139 [14] Anton Bekker, Achmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990. Hlm. 111
Ethics is a science that studies good and bad deeds in the process of carrying out an activity. Ethics is very important for life, especially ethics in the process of obtaining usefel knowledge. The importance of ethics emphasizes that ethics must be studied and applied, especially in the field of education in the process of gaining knowledge. Thinking about the ethics of elerning and learning, is the figure of Imam al-Ghazali, who is one of the scholars who understands the importance of ethics in a person. So I was interested in researching the thoughts og Imam al-Ghazali. The purpose of this research is to make us more aware of and apply the importance of an ethics that we must cultivate in ourselves, especially in the process of gaining knowlodge. In this study, the author uses quantitavive methods, namely conducting library research with data collection techniques by recording, analyzing, reading, and managing research from various books and scientific works that support this research by prioritizing primary data Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ©2021 The Authors. Published by Medan Re source Center This is an Open Access article distributed under the terms of the Creative Common Attribution License which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya-Ulumuddin Lasmi Rambe Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Indonesia PENDAHULUAN Pendidikan sangat diperlukan dalam hidup untuk mengembangkan potensi dalam diri, dan sebagai suatu sistem yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya, serta bisa mengembangkan, mendorong untuk bisa menghasilkan ilmu pengetahuan, kecerdasan berfikir, dan berketerampilan yang baik. Pendidikan adalah suatu proses yang utama untuk mengembangkan potensi individu, agar lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang sempurna Jamali, 1896, p. 3. Dalam proses pembelajaran pasti memerlukan adanya sebuah etika. Etika adalah sifat atau tingkah laku, tabiat atau aturan terkait dengan baik buruk tindakan perbuatan manusia Rahmat Hidayat, 2018, p. 1. Etika sangat penting bagi kehidupan kita, apalagi etika dalam proses memperoleh ilmu yang bermanfaat. Etika merupakan mengamalan dari ilmu, dan sarana mencapai ilmu yang bermanfaat Rahmat Hidayat, 2018, p. 4. Dengan adanya etika akan menjadi pribadi yang adil terus belajar memperbaiki diri untuk menyempurnakan akhlaknya dalam hal apapun. Banyak tokoh Islam yang memiliki kepedulian pemikirannya tentang etika belajar dan pembelajaran, diantaranya adalah Tokoh Imam al-Ghazali, yang merupakan salah seorang ulama yang memahami tentang pengaruh pendidikan pada diri manusia Yaqin, 2004, p. 50. Menurut al-Ghazali akhlak/etika itu didefenisikan tentang kondisi yang menetap didalam jiwa, dimana semua prilaku bersumber darinya dengan penuh kemudahan tanpa memerlukan proses berfikir dan merenung. Apabila kondisi jiwanya menjadi sumber perbuatan-perbuatan yang baik lagi terpuji, baik secara akal dan syariat, maka kondisi itu disebut sebagai etika yang baik. Tetapi apabila yang bersumber darinya adalah perbuatan yang jelek, maka kondisi itupun disebut dengan etika yang buruk Farhad, 2004, p. 57. Al-Ghazali berpendapat bahwa akhlak/etika bukan sekedar perbuatan, bukan pula sekedar kemampuan berbuat, juga bukan pengetahuan, akan tetapi harus menggabungkan dirinya dengan situasi jiwa yang siap memunculkan perbuatan. Keadaan jiwa itu ada kalanya merupakan sifat alami yang didorong oleh fitrah manusia untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukannya. Perbuatan yang lahir itu akan menjadi tanda dan bukti bahwa seseorang itu mempunyai etika yang baik. Etika sebagai salah satu keseluruhan hidup manusia yang tujuannya adalah kebahagiaan A. Ghazali, 2000. Pentingnya beretika menegaskan bahwa etika itu harus lebih dipelajari dan diterapkan, terutama dalam bidang pendidikan dalam proses meraih suatu ilmu pengetahuan Abdullah, 2002, p. 30. Dengan pentingnya suatu etika maka saya pun tertarik untuk meneliti tentang Etika Murid dan Guru Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya-Ulumuddin. Ethics is a science that studies good and bad deeds in the process of carrying out an activity. Ethics is very important for life, especially ethics in the process of obtaining usefel knowledge. The importance of ethics emphasizes that ethics must be studied and applied, especially in the field of education in the process of gaining knowledge. Thinking about the ethics of elerning and learning, is the figure of Imam al-Ghazali, who is one of the scholars who understands the importance of ethics in a person. So I was interested in researching the thoughts og Imam al-Ghazali. The purpose of this research is to make us more aware of and apply the importance of an ethics that we must cultivate in ourselves, especially in the process of gaining knowlodge. In this study, the author uses quantitavive methods, namely conducting library research with data collection techniques by recording, analyzing, reading, and managing research from various books and scientific works that support this research by prioritizing primary data Submitted Revised Accepted 01 September 2021 25 August 2021 18 August 2021 Ethics; al-Ghazali; Students and teachers CITATION APA 6th Edition Lasmi Rambe. 2021. Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya-Ulumuddin. Hijaz. 11, 26-33 *CORRESPONDANCE AUTHOR Lasmirambe123 Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitan Ihya-Ulumuddin 27 PEMBAHASAN Biografi Imam Al-Ghazali Al-Ghazali mempunyai nama lengkap yaitu Abu Hamid Muhammad bin muhammad al-Ghazali. Dalam buku Mutiara Ihya-Ulmuddin namanya disebutkan yaitu, ia adalah Zainuddin, Hujjatun Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, at-Thusi an-Naysaburi, al-Faqih, as-Syufi, as-Syafii, al-kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Repubik Islam Iran pada tahun 450 Hijriyah /1058 M Sirajuddin, 2007. Nama al-ghazali berasal dari kata ghazzal, yang artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah al-Ghazali adalah memintal benang wol. Sedangkan Ghazali diambil dari kata Ghazalah, yang artinya sebuah nama kampung kelahiran al-Ghazali, yang terakhir inilah yang banyak dipakai, sehingga namanya pun dinisbatkan kepada pekerjaan ayahnya, atau kepada tempat kelahirannya Nasution, 1999. Ayahnya adalah pemintol wol, dengan kehidupan yang sangat sederhana dan hanya mau makan dari hasil usahanya sendiri, dan sangat gemar mempelajari ilmu Tasawuf, dan juga terkenal pencinta ilmu dan selalu berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Tetapi ayahnya tidak dapat kesempatan untuk menyaksikan segala keinginan dan doanya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali dan saudaranya Ahmad masih kecil Hermawan and Sunarya, 1971, p. 18. Sebelum ayahnya meninggal ia menitipkan al-Ghazali dan saudaranya Ahmad kepada seorang Sufi yang juga merupakan kerabat, yang bernama Ahmad ibn Muhammad al-Radzikani, ia adalah merupakan sufi, dengan tujuannya untuk dididik dan dibimbing dengan baik. Pendidikan Imam Al-Ghazali Sejak kecil al-Ghazali dikenal sebagai anak yang senang menuntut ilmu pengetahuan. Karenanya tidak heran jika sejak anak-anak ia telah belajar dengan sejumlah guru dikota kelahirannya Hermawan, p. 11. ia mulai mempelajari ilmu yaitu ilmu Fiqih, dan juga belajar menghafal syair-syair, tentang mahabbah cinta kepada Tuhan, Al--Radzikani. Setelah itu ia pun dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan biaya hidup bagi para muridnya. Disini gurunya adalah Yusuf an-Nassj, juga merupakan seorang sufi. setelah tamat ia pun melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan yang ketika itu juga menjadi pusat kegiataan ilmiah. Disini ia mendalami pengetahuan bahasa Arab dan Persia, disamping ia pun belajar pengetahuan agama. Gurunya diantaranya Imam Abu Nasr al- Kemudian dimasa mudanya dalam usia 20-28 tahun ia pun pergi belajar ke Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Kota yang kedua ini ia rajin mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh gurunya yaitu al-Haramain al-Juwaini yang merupakan guru besar di Madrasah al-Nizamiah Nisyapur. Al-Ghazali belajar mengenai Teologi, Hukum Islam, Filsafat, Logika, Sufisme, dan ilmu-ilmu alam Syadani, 1997, p. 178. Dengan kecerdasan dan kemauannya dalam belajar yang luar biasa, al-Juwaini kemudian memberikan gelar Bahrum Mughriq laut yang menenggelamkan. Gurunya begitu membanggakannya sebagai sosok generasi yang mampu menggantikan posisi dan kedudukannya. Setelah Imam al-Juwaini meninggal dunia pada Tahun 478 H 1058 M, al-Ghazali pun meninggalkan Naysapur, kemudian ia berkunjung dan menghadiri majelis Wazir Nizam al- Sunarya, 1971, p. 90. Nizham al-Muluk merupakan posisi strategis yang menjadi tumpuan para ulama yang suka bepergian dan menjadi tempat tujuan para imam serta orang-orang terkemuka. Dari berbagai diskusi dan perdebatan dengan orang-orang terkemuka disana, mereka mengakui keunggulan al-Ghazali. Sehingga namanya terkenal dan tersebar luas Farhad, 2004, p. 4. Untuk itu ia selalu mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang besar sehingga ia tinggal disana selama 6 tahun lamanya. Pada tahun 1090 M Nizam al-Muluk memintanya pergi ke Bahgdad untuk menjadi guru besar pada Madrasah an-Nizmahiyah Nasional, 2001, p. 26. Di Baghdad, popularitas dan derajatnya meningkat dikalangan para penguasa, para menteri, tokoh-tokoh masyarakat, dan para pemegang kekhalifahan/para pejabat Istana. Empat tahun lamanya al-Ghazali memangku jabatan yaitu sebagai pengajar di berbagai tempat, seperti di Bahgdad, Syam, dan Naisaburi, dan dimasa inilah dia banyak menulis buku-buku ilmiah dan Filsafat Hermawan, p. 90. Tetapi keadaan yang demikian tidak selamanya menentramkan hatinya. Di hatinya mulai mucul, inikah ilmu pengetahuan yang sebenarnya? Inikah cara hidup yang diridhai Allah? Bermacam-macam pertanyaan mucul dari hatinya. Akhirnya ia menyingkir dari kursi kebesaran, maka ia meninggalkan Bahgdad, meningggalkan semua kedudukannya, dan menyibukkan dirinya dengan ketakwaan A. Ghazali, 2008, p. 90. 28 Lasmi Rambe Pada tahun 488 H Beliau melaksanakan ibadah haji. Pada tahun 489 H, ia pun pergi ke Damaskus dan tinggal disitu selama beberapa waktu. Kemudian dari Damaskus ia pergi ke Baitul Maqdis, dan mulailah menulis bukunya, Al-Ihya. Ia mulai berjihad melawan hawa nafsu, mengubah akhlak, memperbaiki watak, dan menempa hidupnya. Setelah beberapa waktu di damaskus al-Ghazali kembali kepada tugasnya semula, mengajar di Madrasah Nizamiyah, memenuhi panggilan Fakhr al-Mulk, putra Nizam al-Mulk. Akan tetapi, tugas mengajar tidak lama dijalankan. Ia kembali ke Thus kota kelahirannya. Disana ia mendirikan sebuah halaqah sekolah khusus untuk calon sufi yang diasuhnya sampai ia wafat Nasional, 2001, p. 27. Setelah berpuluh-puluh tahun lamanya al-Ghazali mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan, dan ia pun sudah memperoleh kebenaran yang hakiki jalan sufi. al-Ghazali pun meninggal dunia dengan tutup usia 55 Tahun tepat pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir 505 H/1111 M, dan dikuburkan di Thus Hermawan, p. 90. Al-Ghazali meniggalkan beberapa anak perempuannya, sedangkan anak laki-lakinya Hamid sudah terlebih mendahuluinya. Karya-karya Imam al-Ghazali Al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir besar dalam dunia Islam yang banyak melahirkan karya tulis. Penguasaan atas ilmu-ilmu yang dimilikinya, dibuktikan secara kuat lewat buku yang ditulisnya. Beliau merupakan seorang yang produktif dalam menulis karya-karya Ilmiahnya. Kitab Ihya-Ulumuddin merupakan karya al-Ghazali yang populer yang memadukan pemikiran Fiqhiyah dengan pemikiran Tasawuf dalam satu gagasan yang utuh. Al-Ghazali menulis hampir 100 buah buku. Bukunya itu meliputi berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam teologi Islam, Fikih hukum Islam, Tasawuf, Akhlak, dan autobiografi. Karangannya ia tulis dalam bahasa Arab Persia Nasional, 2001, p. 25. Dijelaskan dalam pengantar buku karya al-Ghazali yang berjudul Mutiara Ihya-ulumuddin bahwa al-faqih Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah Alhusaini di dalam kitabnya Ath-Thabaqaat al-Aliyyah Fii Manaqibi as-menyebutkan 98 karangan A. Ghazali, 2008, p. 11. As-Subki menyebutkan didalam kitab Thabaqaat As-bahwa karangan Imam al-Ghazali mencapai 58 karangan, sedangkan Thasy Kubra Zadeh menyebutkan di dalam Kitab -Ghazali mencapai 80 kitab. Berikut ini merupakan beberapa warisan dari karya Ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam yaitu sebagai berikut 1. Dalam Bidang ilmu Filsafat Tahfut al-Falasifah kekacauan pikiran para Pilosof, Maqasid al-Falasifah Pemikiran para Pil-Ilm kriteria Ilmu-ilmu. 2. Bidang ilmu akhlak dantasawuf Ihya-Ulumuddin menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama, Al-Minqidz Min ad-Dhalal penyelamat dari kesesatan, Ayyuhal Walad wahai anak yaitu tentang akhlak seorang anak, Al-Adab fi ad-Din adab dalam Agama, Bidayah al-Hidayah permulaan mencapai petunjuk, Minhajul Abidin pedoman beribadah, Al-Hikmah Fii Makhluqaatillah Azza Wazalla mendekatkan diri kepada Allah, Kimiya as-kebahagiaan,Mijanul Amal timbangan amal, Misyakatul Anwar lampu yang bersinar banyak, Al--Ihya. latihan atas masalah dalam kehidupan. 3. Dalam bidang Ilmu Tafsir Jawahir Al- - bukti kebenaran. 4. Dalam bidang Fiqih/ Ushul Fiqih Al-Mustashfa pilihan, Al-Basith Fii al- -wasith perantara, Khulashah al-Mukhtashar intisari ringkasan karangan, Al-Wajiz surat wasiat, Syifa al-Ghalil fii al-Qiyas Wa at- 5. Dalam bidang Ilmu Kalam Risalah Fii al--aqaid, Iljaamu al-awam dari ilmu kalam, Al-Iqtishad fii al- E. Dinamika dan Tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran al-Ghazali Al-Ghazali adalah sosok pemikir dan ulama yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban Islam Hermawan, p. 93, sehingga ia dikenal sebagai Hujjah al-Islam. Edukasi dan karya-karyanya banyak Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitan Ihya-Ulumuddin 29 mengembangkan pemikiran Islam diberbagai bidang ilmu pengetahuan, terutama dibidang ilmu tasawuf. Dinamika pemikiran al-Ghazali sangat identik dengan pemikiran sufistiknya. Al-Ghazali telah berusaha untuk mengubah istilah-istilah yang sulit menjadi mudah bagi pemahaman orang awam karena kepandaian gaya bahasanya. Melalui pendekatan sufistik inilah al-Ghazali berupaya mengembalikan Islam kepada sumber fundamental, serta memberikan tempat kehidupan keagamaan dalam sistemnya. Hal inilah yang menentukan mengapa ajaran-ajaran Tasawuf yang merupakan upaya spritualisasi Islam banyak tersebar diberbagai wilayah dunia Islam hingga sekarang Syukur and Masyharuddin, 2002. Pemikiran sufistik al-Ghazali banyak ia pelajari dari guru-gurunya yang dahulu, seperti Ahmad bin Muhammad al-Radzikani, Yusuf an-Nassj yaitu merupakan seorang sufi. Kemudian ia berguru kepada Imam Haramain a-Juwaini Nizamiyah nisyapur Dedi Supriyadi, 2009. Kecerdasan al-Ghazali sangat disenangi dan dibanggakan oleh gurunya yaitu Imam al-Haramain, dan memberikan gelar kepada al-Ghazali yaitu Bahrum Mugriq laut yang menenggelamkan. Setelah Imam Haramain wafat, al-Ghaz -Ghazali selalu berpindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mencari suasana baru dalam mendalami ilmu pengetahuan dan mengajarkannya Ahmad, 1975. Kedatangan al-Ghazali disambut oleh Nizam al- untuk menjadi guru Besar di Perguruan Nizamiyah Bahgdad. Pengangkatannya ini didasarkan atas pengetahuannya yang hebat Zar, 2004. Dikota inilah ia menulis buku-buku ilmiahnya, dan mulai berkonflik terutama dengan golongan -Ghazali memahami filsafat dengan seksama, terus mengulang-ulang kajiannya dan meneliti yang terkandung didalam. Pada saat itulah al-Ghazali menyingkap dan membedakan unsur yang benar dan yang Cuma khayatan Abburrazak, 2003. Al-Ghazali tidak menyerang semua cabang filsafat, kecuali tentang Filsafat Ketuhanan. Al-Ghazali melakukan penyerangan kaum filosof karena menurutnya mereka berlebihan menggunakan akal. Dari beberapa sanggahan yang diberikan al-Ghazali, ada tiga pendapat yang dikufurkannya, yaitu Pertama, Tentang paham qadimnya alam. Pahamnya qadim menurut al-Ghazali bahwa alam itu ada dengan sendirinya, tidak diciptakan oleh Tuhan, dan ini bertentangan dengan ajaran Al-Qu menciptakan segenap alam. Menurut al-Ghazali pandangan filosof al-Farabi dan Ibnu sina keliru dalam memaknai -Ghazali menampilkan pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan Kulliyat umum. Ketiga, tentang paham pengingkaran kebangkitan jasmani di Alam Kubur/Akhirat. Para filsuf berpendapat bahwa yang abadi hanyalah roh jiwa, sedangkan jasmani akan hancur dan tidak kekal. Karena itu pembangkitan nanti pada prinsipnya yang esensi dalam diri manusia adalah jiwanya, bukan jasmaninya, tetapi pembalasan ukhwari menuntut pembangkitan jasmani Nasional, 2001, p. 26. Pertingkaian yang terjadi antara al-Ghazali dengan filosof muslim menjadi sejarah yang panjang dalam dunia filsafat. Pada tahun 1095 al-Ghazali pergi meninggalkan Baghdad dan profesinya sebagai guru, dan pergi mengembara dari satu tempat ketempat lain. Keluarganya pun ditinggalkannya setelah diberi bekal secukupnya. Selama 10 tahun ia menjalani kehidupan sebagai seorang sufi, dan banyak yang tidak mengenalnya lagi. Kemudian ia mengurung diri di dalam mesjid Damascus. Disinilah ia menulis kitabnya Ihya-Ulumuddin yang merupakan perpaduan antara fiqih dan Tasawuf. Pengaruh buku ini menyelimuti seluruh dunia Islam dan masih terasa kuat sampai sekarang. Kehidupan al-Ghazali pada masa tuanya telah mantap coraknya menjadi sufi. dan ia berkeyakinan bahwa tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran hakikiNasional, 2001, p. 27 . Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Istilah yang menghubungkan pengertian murid yaitu al- orang yang mencari ilmu pengetahuan. Kata inilah yang ditulis al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya- yaitu tentang keutamanan menuntut ilmuIhya. Istilah at- semua orang yang menuntut ilmu pada semua tingkatan. 30 Lasmi Rambe Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi kita, dengan adanya ilmu maka kita akan mengetahui dengan baik dari segala sesuatu, dan bisa memahami dan menyempurnakan dengan penjelasan yang terperinci, dan meyakinkan tanpa kebimbangan dan keraguan dalam memperoleh ilmu A. Ghazali, 2008, p. 27. Orang berilmu mempunyai kedudukan yang tinggi disisi Allah SWT. Kedudukan tersebut diberikan kepada hamba yang mampu menggunakan akal pikirannya dengan baik. Dalil-dalil yang menjadi keutamaan dalam menuntut ilmu dalam kitab Ihya-Ulumuddin yaitu sebagaimana sabda Rasulullah saw A. Ghazali, 2008, p. 463 membentangkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu sebagai kerelaan terhadap Pentingnya ilmu pada manusia terutama pada diri kita sendiri, maka haruslah mempunyai ilmu yaitu dengan proses pembelajaran, dengan belajar nantinya kita akan mengetahui tentang ilmu-ilmu yang akan bermanfaat bagi kita kemasa depannya. Dan Allah swt pun sangat memuliakan orang-orang mempunyai ilmu dan akan mengangkat derajatnya karena dengan ilmunya ia akan bisa berfikir dengan jernih tentang apa yang akan dikerjakannya. Sebagaimana firman Allah di dalam Al--dalil keutamaan ilmu seperti dalam QS Al-Mujadilah ayat 11 yang berbunyi A. Ghazali, 2008, p. 23 Yang artinya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan. Guru dalam pandangan al-Ghazali ialah at- yang berarti mengetahui. Dalam kitabnya ditulis yaitu berpengetahuan. Guru adalah orang yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu guru mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Islam. Al-Ghazali berpendapat bahwa guru disebut sebagai orang-orang yang besar yang aktivitasnya lebih baik daripada ibadah setahun. Sebagaimana dalam QS at-Taubah ayat 122 yang berbunyi Yang artinya Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semua pergi kemedan perang. Mengapa sebagian dari setiap golongan antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. Selanjutnya al-Ghazali menyimpulkan dari perkataan para ulama yang menyatakan bahwa guru merupakan pelita siraj segala zaman, orang yang hidup semasa dengannya akan memperoleh pancaran cahaya nur keilmiahannya. Andai kata seorang guru/pendidik itu tidak ada, maka niscaya manusia seperti binatang, sebab dengan pendidikan adalah upaya untuk mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan baik binatang buas maupun binatang jinak menuju kepada sifat insaniyah dan ilahiyah A. H. M. bin M. al Ghazali, 2008. Adapun keutamaan mengajarkan ilmu itu ditunjukkan dalam firman Allah swt dalam QS al-Imran [3]187 yang berbunyi Artinya Dan ingatlah, ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab yaitu hendaklah kamu menerangkan isi kitab ini kepada manusia, dan janganlah kamu menyimbunyikannya. Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa apabila menyimbunyikan kebenaran dan mereka mengetahui itu, dan dalilnya yaitu tentang keharaman menyimbukan ilmu. Dan siapa-siapa yang menyimbunyikan maka sesungguhnya ia mengetahui, maka ia telah berdosa. Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitan Ihya-Ulumuddin 31 Rasulullah saw bersabda Sesungguhnya Allah SWT dan malaikat dan penduduk langit dan bumi, sehingga semut-semut pada lubangnya, dan ikan-ikan dilautan, mereka akan bershalawat atas manusia yang mengajarkan kebaikan. Dan Rasulullah bersabda akan orang-orang yang berbuat kebaikan yaitu Artinya apabila mati anak adam, maka terputuslah amalnya, kecuali salah satu yang tiga yaitu sedekah Jariyah, atau ilmu yang bermanfaat dengannya, anak anak Sholeh yang selalu mendoakannya. Rasulullah berkata semoga Allah meridhoi Khalifahku. Dan sahabat dari bertanya siapa-siapakah khalifah yang dimaksud ya Rasulullah? Dan berkata Rasulullah, merekalah orang-orang yang mencintai sunnahku dan mengajarkan ilmu kepada hamba--Jabal utnya adalah ibadah, mempelajarinya adalah tasbih, mengkajinya adalah jihad,mengajarkannya adalah sedekah, dan membelanjakan hartanya kepada ahlinya adalah kedekatan qurbah A. Ghazali, 2008, p. 25. Etika Belajar Murid menurut al-Ghazali dalam menuntut ilmu kita haruslah menerapkan adanya sebuah etika dalam pembelajaran. Karena etika seseorang itu merupakan indikator ciri-ciri antara kebahagiaan dan kesuksesannya, dan kurangnya etika merupakan tanda celaka dan binasanya seseorang Jawas, 2016, p. 106. Oleh karena itu seoranng penuntut ilmu wajiblah menjaga adab/etikanya terhadap guru. Diantara etika yang harus diterapkan yaitu dalam kitab Ihya-ulumuddin dijelaskan tentang etikanya seorang murid, dan telah disusun dalam tujuh bagian diantaranya yaitu Pertama, Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak. Kebersihan yang dimaksud bukanlah dalam bentuk pakaian, melainkan dalam hati. Batin yang tidak bersih tidak akan dapat menerima ilmu yang bermanfaat dalam agama dan tidak akan disinari dengan itu karena Allah swt, maka jika ilmu menolak kecuali dengan Allah, yakni ilmu tertolak dan tercegah dari kita, sehingga tidak menampakkan hakikatnya kepada kita. Kedua, Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya. Maksudnya adalah kita harus mensedikitkan hubungan dengan dunia, dan menjauhi diri dari keluarga dalam menuntut ilmu, sehingga hatinya hanya terikat kepada ilmu. Karena segala hubungan yang mempengaruhi hidup kita, maka kita tidak akan fokus dalam memperoleh ilmu. Dikatakan bahwa ilmu itu tidak memberikan kepadamu sepenuhnya sebelum engkau menyerahkan padanya seluruh jiwamu. Ketiga, Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji kepada guru. Segala urusan kita harus menyerahkan segala urusannya kepadanya, seperti orang yang sakit menyerahkan urusannya kepada dokter tanpa memutuskan sendiri suatu keperluannya. Keempat, Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia. Orang yang pertama kali baru menerjunkan dirinya dalam menuntut ilmu, agar tidak mendengarkan tentang pendapat orang-orang yang berbeda-beda. Hal itu akan mewariskan kebigungan, karena hal yang pertama terjadi adalah kecenderungan pada hatinya, terutama pada pengabaiannya yang akan nantinya menyebabkan kemalasan A. Ghazali, 2008, p. 34. Kelima, Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga mengetahui hakikatnya. Karena dalam mencari dan memilih suatu ilmu, yang terpenting hanya dapat dilakukan setelah mengetahui suatu perkara secara keseluruhan. Keenam, mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Ketahuilah bahwa semulia-mulia ilmu dan puncaknya adalah adalah pengenalan terhadap Allah SWT. Ilmu merupakan lautan pengetahuan yang tidak diketahui kedalamannya, dan puncak derajat manusia dalam hal ini adalah tingkatan para Nabi dan para wali, kemudian orang yang mengikuti dibawah mereka A. Ghazali, 2008, p. 35. Ketujuh, Hendaklah tujuan seorang murid adalah untuk menghiasi batinnya dengan sesuatu yang mengantarkannya kepada Allah SWT. Dalam hal ini kita akan didekatkan dengan penghuni tertinggi dari orang-orang yang didekatkan al-muqorribun. Dengan menuntut ilmu kita akan dihadapkan dengan orang yang sudah mempunyai ketinggian dalam ilmunya, dan harus dan patut kita tirukan adalah tentang sikapnya dan cara perbuatannya, dengan tidak ada maksud untuk memperoleh kekuasaan, harta, dan pangkat lainnya. Etika Mengajar Guru menurut al-Ghazali adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawa manusia, untuk mendekatkan diri taqarrub kepada Allah SWT. Hal tersebut tujuan utama pendidikan Islam yang utama adalah, upaya untuk mendekatkan diri kepadanya. Barang siapa yang memikul beban pengajaran, 32 Lasmi Rambe maka ia telah memikul perkara yang besar. Maka jagalah etika dan tugasnya seorang guru. Disini akan dipaparkan tentang tugas-tugas seorang guru kepada muridnya. Pertama, Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Sebagimana sabda Rasulullah saw A. Ghazali, 2008, p. 36. Sesungguhnya aku bagi kalian adalah seperti bapak terhadap anaknya. Guru adalah bapak rohani bagi muridnya, karena guru yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Karena itu, haknya didahulukan atas hak kedua orang ketuanya. Jika demikian hendaklah murid itu saling mencintai, karena para ulama dan pecinta akhirat mengembara atau berlomba-lomba menuju Allah swt, dan melewati jalan kepadanya dengan meninggalkan dunia beserta ketinggian dan kemasyhurannya untuk mendekat diri kepada Allah. Kedua, Mengikuti teladan Rasulullah saw, yaitu tidak meminta upah. Janganlah meminta upah atas pengajaran. Seorang guru walaupun mempunyai jasa terhadap para murid, namun mereka juga mempunyai jasa terhadapnya, karena dengan keberadaan mereka sebagai sebab yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Dengan menanamkan ilmu dan keimanan ke dalam hati mereka A. Ghazali, 2008, p. 37. Ketiga, Tidak meninggalkan Nasihat. Seorang guru harus sebisa mungkin memperhatikan para muridnya dan mendidik dengan benar. Seperti melarang anak muridnya meloncat pada tingkatan sebelum berhak menerimanya dan mendalami ilmu tersembunyi sebelum menguasai hukum-hukum yang jelas. Keempat, Menasihati murid dan mencegahnya dari akhlak yang tercela. Seorang murid apabila melakukan sesuatu perbuatan yang salah, maka yang harus kita lakukan adalah dengan menasihati dengan pelan-pelan, buka dengan secara terang-terangan. Peneguran secara terang-terangan dapat menjatuhkan wibawanya. Hendaklah berlaku lurus terlebih dahulu sebelum memerintahkan anak muridnya berlaku lurus Istiqamah. Jika tidak, maka nasihat itu tidak bermanfaat, karena mengikuti perbuatan lebih berkesan dari pada mengikuti perkataan SIMPULAN Pengertian Murid menurut al-Ghazali di dalam kitabnya Ihya- tentang keutamanan menuntut ilmu. Istilah at- yang menuntut ilmu pada semua tingkatan. Guru dalam pendapat al-keutamaan mengajar. Maka guru dapat diartikan orang yang mengajar dan orang yang berpengetahuan. Guru adalah orang yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Dalam menuntut ilmu haruslah menerapkan adanya sebuah etika dalam pembelajaran. Etika belajar Murid diantara yaitu Pertama, Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak. Kedua, Mengurangi hubungan keluarga dan menjauhi kampung halamannya. Ketiga, Tidak bersikap sombong terhadap ilmu dan menjauhi tindakan yang tidak terpuji kepada guru. Keempat, Menjaga diri dari mendengarkan perselisihan diantara manusia. Kelima, Tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga mengetahui hakikatnya. Keenam, mencurahkan perhatian pada ilmu yang terpenting, yaitu ilmu akhirat. Ketujuh, Hendaklah tujuan seorang murid adalah untuk menghiasi batinnya dengan sesuatu yang mengantarkannya kepada Allah SWT. Menurut al-Ghazali, tugas seorang guru yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawa manusia, untuk mendekatkan diri taqarrub kepada Allah SWT. Etika mengajar Guru yaitu Pertama, Belas kasih kepada murid dan memperlakukannya seperti anak sendiri. Kedua, Mengikuti teladan Rasulullah saw, yaitu tidak meminta upah. Ketiga, Tidak meninggalkan Nasihat. Keempat, Menasihati murid dan mencegahnya dari akhlak yang tercela. REFERENSI Abburrazak, A. B. 2003. Inilah Kebenaran Puncak Hujjah Al-Ghazali untuk Para Pencari Kebenaran. Jakarta Pt Liman. Abdullah, M. A. 2002. Filsafat Etika Islam. Bandung Mizan. Ahmad, Z. A. 1975. Riwayat Hidup Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang. Dedi Supriyadi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung Pustaka Setia. Farhad, A. 2004. Menyingkap Rahasia Keajaiban-Keajaiban Ilmu Gaib Laduni Imam al-Ghazali. Surabaya PT Amelia. -Taqwa. Etika Murid dan Guru Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitan Ihya-Ulumuddin 33 Ghazali, A. H. M. bin M. a Hermawan, H. Filsafat Islam. Bandung Insan Mandiri. Hermawan, H., and Sunarya, Y. 1971. Al-Haqiqah fi Nazri Al -Ghazali. Cairo Dar al- Jamali, M. F. Al. 1896. Filsafat Jawas, Y. bin A. Q. 2016. Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu. Jawa Barat Pustaka at-Taqwa. Nasional, D. P. 2001. Ensiklopedi Islam. Jakarta PT Ichtiar Baru. Nasution, H. 1999. Filsafat Islam. Jakarta PT Gaya Media Pratama. Rahmat Hidayat. 2018. Etika Manajemen Perspektif Islam. Medan Lembaga Peduli pengembangan Pendidikan Indonesia LPPPI. Sirajuddin. 2007. Filsafat Islam. Jakarta PT Raja Grafindo Persada. Syadani, A. 1997. Filsafat Umum. Bandung Pustaka Setia. Syukur, H. A., and Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Yaqin, A. M. . 2004. Mendidik Secara Alami. Jombang Lintas Media. Zar, S. 2004. Filsafat Islam filosof dan filasafatnya. Jakarta Raja Grafindo Persada. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this murid dan mencegahnya dari akhlak yang tercelaKetigaKetiga, Tidak meninggalkan Nasihat. Keempat, Menasihati murid dan mencegahnya dari akhlak yang Kebenaran Puncak Hujjah Al-Ghazali untuk Para Pencari KebenaranA B AbburrazakAbburrazak, A. B. 2003. Inilah Kebenaran Puncak Hujjah Al-Ghazali untuk Para Pencari Kebenaran. Jakarta Pt A AbdullahAbdullah, M. A. 2002. Filsafat Etika Islam. Bandung A AhmadAhmad, Z. A. 1975. Riwayat Hidup Al-Ghazali. Jakarta Bulan SupriyadiDedi Supriyadi. 2009. Pengantar Filsafat Islam. Bandung Pustaka Ulumuddin. Qairo Mesir Daar al-TaqwaA GhazaliGhazali, A. 2000. Ihya' Ulumuddin. Qairo Mesir Daar GhazaliGhazali, A. 2008. Mutiara Ihya' Ulumuddin. Bandung Pendidikan Dalam Al Qur'anM F JamaliAlJamali, M. F. Al. 1896. Filsafat Pendidikan Dalam Al Qur'an. Surabaya Bina dan Akhlak Penuntut IlmuY JawasJawas, Y. bin A. Q. 2016. Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu. Jawa Barat Pustaka Manajemen Perspektif Islam. Medan Lembaga Peduli pengembangan Pendidikan Indonesia LPPPIRahmat HidayatRahmat Hidayat. 2018. Etika Manajemen Perspektif Islam. Medan Lembaga Peduli pengembangan Pendidikan Indonesia LPPPI.
- Adik-adik dalam kesempatan kali ini kita akan membahas tentang adab murid terhadap guru dalam kitab Ihya Ulumuddin. Adab murid terhadap guru merupakan suatu hal yang menjadi sorotan dalam era saat ini. Banyak sekali kita dengar perilaku tidak terpuji yang dilakukan oleh seorang murid terhadap gurunya. Padahal kita semua tahu bahwa guru adalah orang tua kita yang harus kita hormati, seperti kita menghormati ayah dan ibu. Beliau merupakan salah satu orang yang paling berjasa dalam hidup kita. Lalu, bagaimana adab murid terhadap guru dalam kitab Ihya Ulumuddin. Simak penjelasannya berikut ini ! Baca Juga 10 Hadits Tentang Adab Terhadap Guru yang Perlu Kamu Ketahui Adab murid terhadap guru dalam kitab ihya ulumuddin yaitu 1. Mendahulukan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan tercela Adab murid terhadap guru dalam kitab ihya ulumuddin yang pertama yaitu mendahulukan kesucian jiwa dari akhlak yang hina dan sifat-sifat yang tercela. Hal ini bertujuan untuk memperoleh ilmu dalam kondisi suci batin, tidak dalam sifat hina dan tercela. Baca Juga Apakah Anak Perempuan Membuka Pintu Surga untuk Ayahnya? Ini 2 Hadits Penjelasannya 2. Menghindari hal-hal yang buruk Adab murid terhadap guru yang kedua yaitu menghindari hal-hal yang buruk. Hal buruk yang dimaksud adalah keterpautan dengan urusan dunia. Dengan meninggalkan urusan dunia, murid akan lebih fokus dalam menuntut ilmu. 3. Tidak sombong Adab murid yang ketiga yaitu tidak sombong. Tidak sombong karena ilmunya yang dimiliki saat ini lebih tinggi dari gurunya dan tidak menentang guru namun diserahkan semua urusan kepada gurunya. Rasulullah SAW. bersabda yang artinya sebagai berikut Terkini
Terbit 25 October 2021 Oleh Kategori Ihya 'Ulumuddin Tata krama atau adab yang semestinya dijalankan oleh para guru dan murid adalah sebagai berikut KEWAJIBAN SEORANG MURID Pertama Menjaga diri dari kebiasaan rendah diri dan perilaku tercela. Rasulullah SAW bersabda, “Agama ditegakkan atas kebersihan. Maka kebersihan lahir dan kesucia batin dibutuhkan”. Usaha murid untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan adalah amalan hati. Sholat dan ibadah fardhu ain lainnya dikerjakan oleh tubuh, sedangkan untuk memperoleh ilmu dari seorang guru tidak dapat dicapai tanpa menyingkirkan kebiasaan buruk dan sifat-sifat jahat. Ibnu Mas’ud RA pernah berkata, “Ilmu tidak diraih dengan banyak belajar. Ia adalah Cahaya nur yang dipancarkan ke dalam dada”. Kedua Mengurangi keterpautannya pada urusan duniawi semata dan berusaha mencari tempat belajar yang jauh dari kerabat dan kampung halaman karena ilmu tak mungkin diperoleh di lingkungan yang demikian. Ketiga Bersikap tawadhu’ atau tidak meninggikan diri dihadapan gurunya. Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan hati. Apa saja yang dianjurkan oleh guru, murid harus mengikutinya dan mengesampingkan pendapat pribadinya. Murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diijinkan oleh gurunya saja. Keempat Ia tidak terlalu memberikan perhatian kepada perbedaan antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi, karena itu bisa menggerus hatinya hingga kehilangan semangat untuk mempelajari ilmu. Ia pertama-tama harus mengindahkan ucapan gurunya dan tidak boleh mempermasalahkan berbagai mazhab. Kelima Tidak boleh meninggalkan satu cabang ilmupun. Ia harus bersemangat untuk mempelajari berbagai cabang ilmu karena setiap cabang ilmu sesungguhnya saling membantu dan berhubungan erat. Keenam Tidak boleh mempelajari atau mendalami beberapa atau semua cabang ilmu dalam satu waktu. Ia harus mempelajari dahulu ilmu yang terpenting bagi kehidupannya. Sedikit ilmu jika diperoleh dengan semangat dan gairah, Insya Allah akan menyempurnakan hati kita untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Ilmu yang tertinggi dan termulia adalah ilmu mengenal Allah ma’ rifatullah. Ketujuh Tidak boleh mendalami cabang ilmu baru hingga ia menguasai dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Satu cabang ilmu umumnya menjadi pengatur dan penuntun bagi cabang ilmu lainnya. Kedelapan Mengetahui sebab-sebab suatu ilmu mulia dikenal. Suatu ilmu yang mulia dapat dikenali dari dua hal yaitu kemuliaan hasilnya dan Kekuatan prinsip-prinsipnya. Sebagai contoh pada ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari agama adalah untuk mendapatkan kehidupan yang kekal dan hasil dari ilmu kedokteran adalah memperoleh kehidupan sementara di dunia. Dari sini tampak jelas bahwa ilmu dengan hasil mengenal Allah, Rasul-Nya, malaikat-Nya, kitab-Nya adalah ilmu yang paling mulia, demikian pula dengan cabang-cabang ilmu penunjangnya. Kesembilan Mempercantik hati dan tindakan dengan kebajikan, menggapai kedekatan dengan Allah SWT dan malaikat-Nya serta bersahabat dengan orang yang dekat dengan Allah SWT. Derajat tertinggi iman seseorang dimiliki oleh para Nabi, kemudian para Wali, lalu para Alim Ulama yang mendalam ilmunya, dan terakhir orang-orang saleh yang mengikutinya. Kesepuluh Memusatkan perhatian pada tujuan utama ilmu. Dunia dan seisinya beserta tubuh ini sudah selayaknya dijadikan kendaraan’ untuk menggapai tujuan utama ilmu yang kita pelajari kelak, yaitu Allah SWT dan tidak ada apapun selain Allah SWT. KEWAJIBAN SEORANG GURU Seseorang yang dikaruniai ilmu yang mendalam, dicerminkan dengan tindakan yang mulia dan mengajarkannya kepada orang lain dipandang lebih mulia daripada para malaikat langit dan bumi. Mereka ini diibaratkan seperti matahari yang menyinari diri sendiri dan memberikan sinarnya kepada alam semesta. Manusia seperti ini laksana kesturi, ia sendiri berbau harum namun juga menebarkan keharumannya kepada orang lain. Orang seperti inilah yang layak dijadikan Guru. Pertama Memperlihatkan kebaikan, simpati dan bahkan empati kepada para muridnya dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri. Seorang Guru adalah sebab dari kehidupan kekal kelak. Karena ajaran para Guru inilah murid akan mengetahui dan ingat akan kehidupan akhirat. Seorang Guru dinilai akan membinasakan diri dan juga muridnya apabila ia mengajar demi dunia ini. Guru yang berorientasi akhirat tidak akan punya rasa benci, iri dan dengki terhadap muridnya dan siapapun juga. Kedua Mengikuti teladan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ia tidak boleh mencari imbalan dan dan upah di dalam mengajar selain mendekatkan diri kepada Allah dan mentauladani apa yang dilakukan Rasulullah SAW. Ketiga Tidak boleh menyembunyikan nasihat atau ajaran untuk diberikan kepada murid-muridnya. Setelah selesai menyampaikan ilmu-ilmu lahiriyah, seorang Guru haruslah menyampaikan ilmu-ilmu batiniah bahwa tujuan Pendidikan adalah mendekat kepada Allah SWT, bukan mengejar kekuasaan atau kekayaan. Keempat Mencegah murid-muridnya dari memiliki watak dan perilaku jahat dengan penuh kehati-hatian dan dengan cara sindiran, dengan cara simpati bukan keras dan kasar. Kelima Tidak boleh merendahkan ilmu lain dan Guru lain dihadapan para muridnya. Seharusnya Guru suatu ilmu tertentu menyiapkan murid-muridnya untuk belajar lanjutan ilmu-ilmu lainnya dan seterusnya, sehingga tidak punya waktu untuk menceritakan hal yang tercela terkait ilmu lain dan Guru lain. Keenam Mengajarkan murid-muridnya hingga batas kemampuan pemahaman mereka. Apa yang diketahui seorang Guru tidak mesti semuanya disampaikan kepada murid-muridnya sekaligus. Kebijaksanaan lebih bernilai daripada permata sekalipun. Ada peringatan bahwa lebih baik menjaga ilmu dari orang-orang yang bisa menjadi hancur karena memilikinya. Memberikan sesuatu kepada orang yang tidak berhak atas suatu ilmu sama atau tidak memberikannya kepada orang yang berhak adalah sama-sama zalim. Ketujuh Mengajarkan kepada para murid yang terbelakang hanya sesuatu yang jelas dan sesuai dengan tingkat pemahamannya yang terbatas tersebut. Orang acapkali mengira bahwa kebijaksanaan, ilmu dan tindakannya sempurna. Orang terbodoh adalah orang yang merasa puas dengan diri dan pengetahuannya serta menganggap bahwa akalnya sempurna. Kedelapan Guru haruslah mempraktekkan apa yang diajarkan dan tidak boleh berbohong dengan apa yang disampaikannya. Guru dapat diibaratkan seperti tongkat dan murid adalah bayangan dari tongkat tersebut. Bagaimana mungkin bayangan sebatang tongkat bisa lurus apabila tongkat itu sendiri bengkok? اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ Klik disini apabila ingin memiliki kitabnya
Baca Juga 10 Kata Kata Adab Lebih Tinggi dari Ilmu Untuk Inspirasimu "Pelajarilah ilmu dan ajarilah manusia dan rendahkanlah diri kepada guru dan berlaku lemah lembutlah kepada murid-muridmu." HR. Thabrani Hadist ini menjelaskan bahwa seorang murid harus rendah diri kepada gurunya walaupun ilmunya lebih tinggi darinya, dan menjelaskan kepada guru untuk berprilaku lemah lembut kepada siswanya. Demikian ulasan tentang adab murid terhadap guru dalam kitab Ihya Ulumuddin. Semoga dapat menjadi referensi untuk adik-adik dalam belajar. Semoga bermanfaat. Terkini
Abstrak Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka library research, penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan tentang kitab Ayyuhal Walad, karya Imam al Ghazali. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Hasil penelitian, pertama, konsep pendidikan karakter merupakan gambaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaa pendidikan karakter, baik terkait dengan definisi pendidikan karakter, tujuan pendidikan karakter dan nilai-nilai pendidikan karakter. Kedua,karakter atau akhlak menurut al-Ghazali adalah suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan dan pengalaman dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan redaksi lain, al-Ghazali juga berpendapat Pendidikan karakter adalah sebuah proses pembersihan jiwa. Dari jiwa yang bersih lahir perilaku yang baik, seperti jujur, dermawan, dan sabar. Ketiga, pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad berisi nasihat al-Ghazali kepada muridnya yang meminta nasihat khusus, secara garis besar membehas tentang masalah akhlak kepada Allah, akhlak seorang pendidik, akhlak seorang pelajar, dan akhlak dalam pergaulan. Tujuan dari pembahasan pendidikan akhlak dalam kitab ini untuk mencetak pribadi yang baik, bermoral dan lebih mengutamakan kepentingan Allah Syari’at daripada yang lainnya. Dan juga untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. di dunia maupun di akhirat.
Related PapersIndonesian nation is undergoing a severe trial by the increasing moral decline of the nation. Corruption , drugs , sex, fights and many other deviant behavior that everyday adorn the local and national media. Formal education institutions predicted as churning generation of people has not been fully able to carry out the mandate of the national education goals in the print generation morality. That is where boarding Miftahul Huda emerged as an alternative in efforts to reduce the destructive impact caused by the rate of change of era. The results showed that Ponpes Miftahul Huda has good concept in coaching noble character of students. Implementation of noble character education in schools is done integrally through two main points , namely teaching and habituation. Teaching students to understand the cognitive aspects as well as habituation by directly applying an understanding that has been gained in everyday activities .The aim of this research is to describe and analyze the ethics of teacher and students interaction according to perspective of Imam Al Ghazali in the book called Ihya' Ulumuddin to develop the concept of ethics in the field of education and as an effort to next generation of nation that has an ethics that fits to the purpose of education. This research used qualitative descriptive approaches and type of research used literature or library research. This research concludes that according to Imam Al Ghazali in the book called Ihya umumuddin a teacher must have an affection to the students, and imitate Rasulullah SAW in performing his teaching duties and intend to seek for Allah's pleasure. While the ethics of students interaction with the teacher according to Imam Al Ghazali the students must purify their soul from the negative morals and natures before study, so that the knowledge they will learn can be useful and embedded to their soul, and only seek for the pleasure of Allah SWT in studying. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis etika interaksi guru dan murid menurut prespektif Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin untuk mengembangkan konsep etika interaksi di bidang pendidikan dan sebagai upaya membentuk generasi penerus bangsa yang mempunyai etika sesuai dengan tujuan pendidikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dan jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan atau library research. Adapun Teknik pengumpulan data adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa catatan, jurnal, buku, dan lain sebagainya. Data dikumpulkan dalam wujud catatan/data analisa data yang dipakai adalah analisis isi content analysis. Dalam penelitian ini memberikan kesimpulan dari hasil penelitian , setelah ditelusuri dari kitab Ihya Ulumuddin didapatkan bahwa etika interaksi guru dengan murid menurut Imam Al Ghazali seorang guru harus memiliki kasih sayang kepada murid, meniru dan meneladani sifat Rasulullah SAW dalam melaksanakan tugas mengajarnya, dan berniat untuk mencari ridha Allah Swt. Sedangkan etika interaksi murid dengan guru menurut Imam Al Ghazali seorang murid harus mensucikan jiwanya dari akhlaq dan sifat tercela sebelum menuntut ilmu, agar ilmu yang akan ia pelajari dapat bermanfaat dan tertanam dalam jiwanya; serta dalam menuntut ilmu hanya mengharap ridha Allah islam pada hakikatnya semua manusia adalah peserta didik sebab, pada hakikatnya semua manusia adalah makhluk yang seantisa berada dalam proses perkembangan menuju kesempurnaan atau suatu tingkatan yang dipandang sempurna. Di samping itu di jumpai istilah lain yang sering di gunakan dalm bahasa arab yaitu tilmidz yang berarti pelajar, bentuk jama’nya adalah talamiz, kata ini lebih merujuk kepada pelajar yang belajar dari madrasah, kata lainnya yang sering digunakan adalah thalib yang artinya pencari ilmu, pelajar, atau mahasiswa. berarti oranng yang meminta. Ada juga yang menyebutkan peserta didik sebagai anak didik yang dalam pengertian umum adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seorang atau kelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan. Sementara dalam arti yang sempit , anak didik adalah anak pribadi yang belum dewasa yang di serahkan kepada tanggung jawab pendidik. Namun, dalam Bahasa Indonesia makna siswa, murid, pelajar, dan peserta didik merupakan sinonim semuanya bermakna anak yang sedang berguru, anak yang sedang memperoleh pendidikan dasar dari suatu lembaga pendidikan. Jadi, dapat dikatakan bahwa anak didik merupakan semua orang yang sedang belajar, baik di lembaga pendidikan formal maupun Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka library research, penelitian yang obyek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan tentang kitab Ayyuhal Walad, karya Imam al Ghazali. Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan sifat-sifat atau karakteristik individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Hasil penelitian, pertama, konsep pendidikan karakter merupakan gambaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaa pendidikan karakter, baik terkait dengan definisi pendidikan karakter, tujuan pendidikan karakter dan nilai-nilai pendidikan karakter. Kedua,karakter atau akhlak menurut al-Ghazali adalah suatu kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan dan pengalaman dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan redaksi lain, al-Ghazali juga berpendapat Pendidikan karakter adalah sebuah proses pembersihan jiwa. Dari jiwa yang bersih lahir perilaku yang baik, seperti jujur, dermawan, dan sabar. Ketiga, pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad berisi nasihat al-Ghazali kepada muridnya yang meminta nasihat khusus, secara garis besar membehas tentang masalah akhlak kepada Allah, akhlak seorang pendidik, akhlak seorang pelajar, dan akhlak dalam pergaulan. Tujuan dari pembahasan pendidikan akhlak dalam kitab ini untuk mencetak pribadi yang baik, bermoral dan lebih mengutamakan kepentingan Allah Syari’at daripada yang lainnya. Dan juga untuk mendapatkan Ridha Allah SWT. di dunia maupun di research is related to how the personal competence of Teachers and Students in the Educational Perspective Interaction of KH. Hasyim Ash'ari contained in the book Adabul Alim wa Al-muta'allim. This research is in the form of library research with content analysis used as an analysis tool. The results of the analysis of the authors that the personal competence of teachers and students in the educational interaction perspective KH. Hasyim Ash'ari is an intense and close attachment not only in the sense of being born, but also inwardly alaqah batiniyah based on religios-etich for the success of the teaching and learning process. There are several interaction patterns that can be developed to create educational interactions between teacher and student perspectives KH. Hasyim Ash'ari, among them are Tazkiyatun nafs, al-Ikhlas, at-Tarahum, at-Tawadud. ABSTRAK Penelitian ini terkait dengan bagaimana kompetensi kepibadian Guru dan Murud dalam Interaksi Edukatif Perspektif KH. Hasyim Asy'ari yang tertuang dalam kitab Adabul Alim wa Al-muta'allim. Penelitian ini berbentuk library research dengan content analysis dijadikan sebagai alat analisisnya. Hasil dari analaisis penulis bahwa kompetensi kepribadian Guru dan Murid dalam interaksi edukatif perspektif KH. Hasyim Asy'ari adalah adanya keterikatan secara intens dan erat tidak hanya dalam artian secara lahir, akan tetapi juga secara batin alaqah batiniyah yang dilandasi religios-etich untuk keberhasilan proses belajar mengajar. Ada beberapa pola interaksi yang bisa dikembangkan untuk menciptakan interaksi edukatif antara guru dan murid perspektif KH. Hasyim Asy'ari, diantaranya adalah Tazkiyatun nafs, al-Ikhlas, at-Tarahum, at-Tawadud.
Authors DOI Keywords Guru, Etika, Pembelajaran Abstract Guru merupakan ujung tombak dalam pendidikan Islam. Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana etika guru dalam pembelajaran menurut kitab Ihya Ulumuddin, bagaimana etika murid dalam pembelajaran menurut kitab Ihya Ulumuddin dan bagaimana hubungan guru dan murid dalam pembelajaran. Jenis penelitian ini adalah Library Research. Temuan penelitian mengimformasikan Pertama, Al-Ghazali memaparkan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pendidik, yaitu Kasih sayang, tidak mengharapkan materi, tidak berhenti menasihati murid, tidak merendahkan ilmu dan orangnya, serta bertindak sesuai dengan ilmunya. Kedua, etika murid dalam pembelajaran antara lain harus membersihkan jiwanya terlebih dahulu dari akhlak yang buruk dan sifat-sifat tercela, tidak banyak melibatkan diri dalam urusan duniawi, jangan menyombongkan ilmunya dan menentang gurunya, tidak terlibat dalam kontroversi, tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang terpuji, tidak memasuki suatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak, tidak menceplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya Ketiga, hubungan guru dengan murid adalah guru sebagai tempat anak belajar. PDF How to Cite Khafrawi. 2021. Etika Guru dan Murid Dalam Pembelajaran Kajian Kitab Ihya Ulumuddin . Jurnal At-Tarbiyyah Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, 71, 1-26.
ASTUTI, ARI AJI 2011 ADAB INTERAKSI GURU DAN MURID MENURUT IMAM AL GHAZALI DALAM BUKU IHYA’ULUMIDDIN. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta. BACA FULLTEXT Abstract Sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan yang dibangun untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Guru dan murid adalah dua unsur utama, yang melakukan proses interaksi dalam kegiatan belajar mengajar. Guru berperan sebagai pendidik yang memberikan pengajaran, pengarahan, dan pembinaan kepada para murid sebagai peserta didik. Dimana, interaksi guru dan murid akan menjadi interaksi yang baik bila berpedoman pada adab-adab yang diatur dalam Islam. Imam Al Ghazali sebagai seorang ulama yang sangat terkenal dalam khasanah pendidikan Islam, yang juga dikenal santun kepada gurunya dan sangat sayang kepada muridnya, merumuskan adab dan tugas-tugas guru dan murid yang sangat pantas dijadikan acuan oleh para guru dan murid di Sekolah. Penelitian dalam skripsi ini membahas masalah bagaimana adab interaksi guru dan murid menurut Imam Al Ghazali dalam buku Ihya’Ulumiddin, dan bertujuan untuk mengetahui pandangan Imam Al Ghazali tentang adab interaksi antara guru dan murid tersebut. Sehingga dapat memberi masukan kepada para guru dan murid bagaimana melakukan interaksi yang baik dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian pustaka library research, dengan sumber utama buku Ihya’Ulumiddin, ditambah dengan buku- buku penunjang lain yang berkaitan dengan masalah penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Terdapat 10 tugas murid dan delapan tugas guru yang irumuskan oleh Imam Al Ghazali yaituseorang murid harus mensucikan jiwanya dari akhlaq tercela, tidak boleh sombong terhadap ilmu dan guru, harus menyedikitkan hubungan dengan kesibukan dunia dan menjauh dari keluarga dan tanah air, menghormati guru, mengetahui kedudukan ilmu, menuntut ilmu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Seorang guru harus belas kasih kepada murid, mengajari murid sesuai dengan kadar kemampuannya, mengikuti Rasulullah, tidak meninggalkan nasehat guru, dan mengamalkan ilmu yang diajarkan kepada muridnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumusan adab dan tugas-tugas guru yang dipaparkan semua sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan Islam, serta sesuai dengan konsep pemikiran para ahli pendidikan masa kini. Namun dari 10 tugas murid, ada dua rumusan yang tidak ditemukan dalam teori para ahli pendidikan masa kini. Yaitu, “Seorang murid harus menyedikitkan hubungan dengan masalah dunia, dan menjauh dari keluarga dan tanah air”.”Seorang murid yang memulai belajar hendaknya menghindarkan diri dari belajar kepada banyak guru. Konsep pemikiran Imam Al Ghazali juga sangat relevan dengan konsep pendidikan masa kini, dan sangat cocok untuk diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di Sekolah. Item Type Karya ilmiah Skripsi Additional Information RAK G000/2011-018 Uncontrolled Keywords adab interaksi guru dan murid , Imam Al Ghazali Ihya’Ulumiddin Subjects B Philosophy. Psychology. Religion > BP Islam. Bahaism. Theosophy, etcL Education > L Education General Divisions Fakultas Agama Islam > Pendidikan Agama Islam PAI Depositing User Mrs Esti Handayani Date Deposited 28 Sep 2011 0251 Last Modified 04 Nov 2011 0543 URI Actions login required View Item
Bab Kelima Adab Aturan Guru dan Murid “Mengenai adab aturan yang semestinya dijalankan oleh seorang guru dan juga muridnya.”Adab Seorang MuridAdab atau aturan bagi seorang murid terdiri dari sepuluh jenis. Kewajiban pertama atas adab seorang murid adalah, tetap menjaga diri dari kebiasaan yang merendahkan akhlak serta perilaku tercela lainnya. Usaha untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan lainnya adalah melalui amalan jiwa. Yaitu, mengutamakan kesucian jiwa dari akhlak yang tercela. Adapun ilmu membersihkan kotoran jiwa yang tersembunyi mampu menuntun murid kepada Sang Maha Pencipta, Seperti shalat, kewajiban ini dikerjakan oleh organ lahiriah – demikian pula dengan ibadah jiwa lainnya – di mana sumber untuk memperoleh ilmu tersebut tidak dapat dicapai tanpa menyingkirkan kebiasaan-kebiasaan buruk dan sifat-sifat tercela yang mengitarinya. Dalam hal ini, Rasulullah pernah mengingatkan melalui sabdanyaبُنِيَ الدِّيْنُ عَلَى النِّظَافَةِ“Agama ini ditegakkan atas kesucian.” 1841.Oleh karena itu, kesucian lahir maupun batin sungguh sangat dibutuhkan oleh siapa saja yang menguku dirinya Mu’min. Sebagaimana Allah berfirmanإِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ.“Sesungguhnya orang-orang yang menyekutukan Allah musyrik itu najis tidak suci.” at-Taubah [9] 28.Dari sini dapat kita pahami, bahwa suci dari najis bukan hanya secara lahiriah saja harus kita perhatikan. Sebab, orang-orang musyrik juga menjaga pakaian dan kondisi fisik mereka agar tetap terlihat bersih. Namun, disebabkan jiwa mereka yang terlanjur kotor, maka seluruh fisik mereka dianggap najis kotor pula. Dalam aturan Islam, kebersihan batin menduduki posisi yang jauh lebih penting ketimbang kebersihan lahir. Oleh karena itu, Rasulullah pernah bersabdaلَا تَدْخُلُ الْمَلَائِكَةُ بِيْتًا فِيْهِ كَلْبٌ.“Malaikat – rahmah, kasih sayang – tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya memelihara anjing.” 1852.Jiwa ibarat rumah, tempat tinggal bagi para malaikat, dan sekaligus tempat mereka bergerak memantau perilaku manusia. Sifat-sifat tercela seperti marah, nafsu, dendam, dengki, takabur, ujub dan sebagainya digambarkan seperti najis pada anjing. Jika najis bersemayam dalam jiwa seseorang, maka adakah lagi tempat bagi para malaikat itu? Allah menuangkan rahasia ilmu ke dalam jiwa manusia melalui para malaikat yang bertugas menjaganya. Dan, para malaikat itu tidak akan menanamkan rahasia ilmu kecuali ke dalam jiwa yang bersih, sanubari nan suci. Sebagaimana Allah telah berfirmanوَ مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ.“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dirinya kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, 1863 atau dengan mengutus seorang utusan malaikat, lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.” asy-Syūrā [42] 51Wujud lahir dalam pandangan dunia ini mengalahkan makna batin yang tersembunyi. Sedangkan di akhirat kelak adalah sebaliknya, makna batinlah yang lebih berkuasa ketimbang aktivitas lahir ketika di alam dunia. Oleh karena itu, masing-masing hamba akan dibangkitkan sesuai dengan wujud yang sesungguhnya. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah riwayat “Manusia yang gemar melucuti kehormatan orang lain, maka di alam akhirat kelak ia akan dibangkitkan menyerupai seekor anjing yang menyalak. Sedangkan manusia yang ketika hidup di alam dunia suka mengambil harta milik orang lain melalui cara-cara yang tidak dibenarkan, maka kelak di alam akhirat akan dibangkitkan seperti seekor srigala yang sangat buas. Adapun bagi manusia yang ketika hidup di alam dunia suka menyombongkan diri di hadapan manusia lain, niscaya pada Hari Berbangkit nanti akan dihidupkan kembali seperti seekor harimau yang ganas. Dan, bagi siapa saja yang pada saat berada di alam dunia menghalalkan segala cara demi pangkat maupun jabatan, maka di alam akhirat kelak akan dibangkitkan seperti seekor singa yang mengaum-aum menanti mangsanya.” 1874.Ibnu Masud berkata “Ilmu batin tidak mungkin diraih hanya dengan melalui cara banyak mempelajarinya. Ilmu batin jiwa adalah cahaya Allah yang sengaja dipancarkan ke dalam dada manusia. Oleh karena itu, ilmu seseorang tidak dapat diukur dari banyaknya ia meriwayatkan hadis. Akan tetapi, sesungguhnya ilmu itu lebih merupakan cahaya yang terpancar dari relung qalbu pemiliknya.”Sebagian dari para pencari penempuh jalan kebenaran mengatakan “Kami pernah menuntut ilmu bukan dengan niatan karena Allah hingga ilmu itu menolak kami pelajari terasa berat, hingga kami tidak bisa menemukan hakikat yang terkandung di dalamnya. Dan yang kami dapatkan hanya sekedar cerita serta berbagai bentuk ungkapan semata.” Seorang ahli hikmah berkata “Ilmu adalah cerminan dari sikap takwa seorang hamba kepada Allah Sebab, Allah sendiri telah berfirman di dalam al-Qur’anإِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ.“Sesungguhnya yang paling takut bertakwa kepada Allah di antara hamba-hambaKu adalah para ulama.” Fāthir [35] 28.Kewajiban kedua atas adab seorang murid adalah, mengurangi keterpautannya kepada urusan duniawi dan berusaha mencari tempat yang berbeda dari lingkungan keluarga serta kerabat dekatnya. Sebab, ilmu tidak mungkin diperoleh di lingkungan yang kurang atau tidak kondusif. Dan, hendaknya mengurangi berbagai ketergantungan yang ada pada qalbu, serta sebisa mungkin berhijrah, supaya qalbu bisa terfokus pada ilmu. Karena alasan itu, Allah berfirmanمَا جَعَلَ اللهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهِ.“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua jiwa dalam rongga dadanya.” al-Aḥzāb [33] 4.Dan, disebabkan alasan itu pula seorang ahli hikmah pernah berkata “Seluruh bagian ilmu tidak akan diberikan kepada kalian, sampai kalian mampu menundukkan seluruh jiwa kalian secara utuh kepadanya mengabdi untuk ilmu. Dengan kata lain, bahwa ilmu tidak akan memberimu walau sebagiannya saja, sampai engkau memberikan dirimu utuh kepadanya.”Kewajiban ketiga atas adab seorang murid adalah, bersikap tawadhu atau tidak meninggikan diri di hadapan gurunya. Seorang murid seharusnya mempercayakan segala urusan keilmuannya kepada sang guru, dan tunduk kepada segala aturan yang telah diberikan, seperti pasien yang patuh kepada nasihat dokter pribadinya jika ingin segera sembuh dari sakit yang tengah meriwayatkan sebuah kisah “Suatu ketika Zaid bin Tsabit melaksanakan shalat jenazah. Setelah selesai melaksanakan shalat tersebut, segera Ibnu Abbas mendekatkan tali kekang pada bighal 1885 miliknya untuk dikendarai. Menyaksikan sikap Ibnu Abbas, Zaid pun berkata “Tidak usah wahai anak paman Rasulullah.” Ibnu Abbas pun menyahut “Beginilah cara yang diperintahkan kepada kami untuk menghormati para ulama dan orang-orang mulia.” Mendapati ucapan itu, Zaid bin Tsabit pun segera memegang dan mencium telapak tangan Ibnu Abbas sambil mengatakan “Seperti inilah aturan adab yang diperintahkan kepada kami oleh Rasulullah untuk memperlakukan keluarga dekat beliau.” 1896.Sebagaimana Rasulullah juga pernah bersabdaلَيْسَ مِنْ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِ التَّمَلُّقُ إِلَّا فِيْ طَلَبِ الْعِلْمِ.“Bukan merupakan kebiasaan adab seorang Mu’min dengan merendahkan diri di hadapan orang lain; kecuali pada saat sedang menuntut ilmu belajar.” 1907.Ilmu dan hikmah merupakan harta milik kaum Mu’min yang hilang. Oleh karena itu, setiap kita harus bisa menemukannya di mana saja kita bisa meraihnya. Dan, ucapkan terima kasih kepada siapa saja yang sudi membawakannya ke hadapan kita. Dikatakan dalam sebuah syair“Ilmu dan hikmah sama artinya dengan perjuangan,Yang dilakukan oleh pemuda berkeinginan air bah banjir yang tengah berjuang,Menemukan tempat menuju hilir.” Penyair lainnya mengatakan“Ilmu itu enggan menyambut pemuda yang sombong,Laksana banjir yang malas mencapai tempat yang tinggi.” Ilmu tidak akan dapat diraih kecuali dengan kesederhanaan dan kerendahan jiwa pencarinya. Sebagaimana Allah telah berfirmanإِنَّ فِيْ ذلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَ هُوَ شَهِيْدٌ.“Sesungguhnya hal demikian itu menjadi peringatan bagi siapa yang mempunyai qalbu atau mau menggunakan pendengarannya, sementara ia menjadi saksi.” Qāf [50] 37.Makna “mempunyai qalbu” adalah jiwa yang mantap dalam menerima ilmu dan qalbu yang siap untuk memahami ilmu. Apa saja yang disampaikan dan dianjurkan oleh guru, maka murid harus mengikutinya, dan mengesampingkan pendapatnya sendiri. Para murid hanya boleh bertanya perihal perkara yang diizinkan oleh gurunya; pada saat proses belajar mengajar tengah dilaksanakan. Dalam hal ini, ada contoh yang telah dikisahkan oleh Allah dalam al-Qur’an, yaitu kisah tentang Nabi Musa dan Nabi Khidhir Nabi Khidhir berkata kepada Nabi Musaإِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيْعَ مَعِيَ صَبْرًا. وَ كَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا.“Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau dapat sabar atas sesuatu, yang engkau sendiri belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” al-Kahfi [18] 67-68.Setelah itu, Nabi Khidhir memberikan satu persyaratan kepada Nabi Musa “Engkau tidak boleh bertanya tentang apa yang aku lakukan.” Sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya اتَّبَعْتَنِيْ فَلَا تَسْأَلْنِيْ عَنْ شَيْءٍ حَتِّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا.“Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri yang akan menerangkannya kepadamu.” al-Kahfi [18] 70.Namun, kemudian diungkap dalam al-Qur’an, pada penjelasan ayat berikutnya, bahwa persyaratan yang diajukan oleh Nabi Khidhir ternyata tidak dipatuhi oleh Nabi Musa. Sebab, Nabi Musa masih juga mengajukan pertanyaan kepada Nabi Khidhir. Dan, karena itu pula Nabi Khidhir memutuskan untuk berpisah dengan Nabi ditanyakan, mengapa kita diperintahkan untuk bertanya manakala kita tidak mengetahui atas sesuatu, sebagaimana difirmankan oleh Allah sendiri dalam al-Qur’anفَسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ.“Maka bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” an-Nahl [16] 43.Jawaban yang dapat diberikan atas pertanyaan tersebut adalah, diperolehkan seorang murid bertanya kepada gurunya jika pertanyaan yang tersedia diperintahkan oleh sang guru yang mengajar untuk dipertanyakan. Sebab, semua itu berkaitan erat dengan sampainya murid atas materi bahasan yang tengah diajarkan, atau dikhawatirkan sang murid belum sampai pada materi bahasan yang diajukan pertanyaan atasnya. Dan, ini akan menjadikan kendala tersendiri dalam penyerapan pelajaran yang diberikan kepada keempat atas adab seorang murid adalah, mula-mula berusaha dengan segenap kemampuan yang dimiliki untuk tidak mencari-cari perselisihan di antara sesama manusia. Karena, hal itu dapat menimbulkan kegelisahan dan penderitaan bagi jiwa. Diawali jiwa akan cenderung pada semua yang masuk melalui pendengaran, terlebih hal-hal yang dapat menimbulkan rasa malas dan enggan untuk berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagi para penuntut ilmu yang masih berada pada barisan pemula, tidak dianjurkan mengikuti perbuatan orang-orang yang memiliki sifat pemalas. Sampai-sampai, ada ungkapan yang mengatakan “Siapa yang memperhatikan kami guru pada tingkat permulaan al-bidāyah, maka ia adalah teman di dalam mencari kebenaran. Dan, siapa yang memperhatikan kami hanya pada saat-saat terakhir saja an-nihāyah, maka ia laksana seorang zindiq dalam usaha menuntut ilmu serta kebenaran.”Sudah seharusnya seorang murid tidak terlalu memberikan perhatian pada perbedaan antara ilmu duniawi dan ilmu ukhrawi. Sebab, semua itu potensial mengotori jiwanya, dan ia bisa kehilangan gairah mempelajari ilmu. Jangan lupa, seorang murid harus senantiasa mengindahkan ucapan gurunya, dan tidak boleh mempermasalahkan berbagai madzhab atau sekte yang berkembang. Sebab, pada saat seseorang hanya mementingkan yang akhir saja ujung dari suatu amalan, niscaya anggota tubuh mereka terlatih untuk menjadi malas beraktivitas secara utuh, kecuali hanya melakukan hal-hal yang difardhukan saja. Mereka mengganti amalan-amalan sunah hanya dengan gerakan-gerakan qalbu, dan kesaksian yang cenderung melalaikan. Sedangkan murid yang lalai itu cenderung bermalas-malasan serta bersikap satu ungkapan yang menyatakan, bahwa tidak layak seorang tuna netra buta menjadi penunjuk jalan bagi para tuna netra lainnya. Demikianlah seharusnya adab seorang murid dalam bersikap. Murid tidak layak berperilaku seperti seorang guru. Oleh karena itu, diperbolehkan atas Nabi apa yang belum tentu diperbolehkan bagi umat beliau. Sebab, kekuatan sikap adil yang beliau miliki mendapatkan naungan dan bimbingan secara langsung dari sisi Allah seperti, izin atas diri Nabi menikahi istri lebih dari sembilan 1918 wanita.” 1929.Kewajiban kelima atas adab seorang murid adalah, seorang murid tidak boleh meninggalkan satu cabang ilmu pun. Ia harus berusaha menjadi ahli dalam berbagai cabang ilmu. Sebab, setiap cabang ilmu saling membantu dan sebagian cabang ilmu itu saling berhubungan erat. Jika seorang murid tidak mendapatkan sesuatu, maka acapkali sesuatu itu dimusuhinya. Dengan kata lain, setiap disiplin ilmu yang terpuji harus terus ditekuni, sampai terlihat dengan jelas tujuan atau hasilnya. Jika seseorang memiliki kesempatan yang memadai, maka ia dituntut untuk menyempurnakan di dalam mempelajarinya ilmu yang terpuji. Kalau tidak, maka ia pilih saja yang terpenting dari ilmu yang tersedia. Menjatuhkan pilihan pada yang paling penting itu dilakukan setelah mengamati keseluruhannya terlebih dahulu. Sebagaimana Allah berfirmanوَ إِذْ لَمْ يَهْتَدُوْا بِهِ فَسَيَقُوْلُوْنَ هذَا إِفْكٌ قَدِيْمٌ.“Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata “Ini adalah dusta yang lama.”” al-Ahqāf [46] 11.Seorang penyair mengatakan“Makanan manis yang dimasukkan ke mulut seorang pasienAkan terasa hambar baginya seperti tanpa rasa.”Kecerdasan seseorang menentukan hasil perolehan ilmu yang baik. Ilmu yang baik menuntun manusia kepada Allah atau menolong manusia untuk menjalani dengan baik kehidupannya di dunia. Setiap cabang ilmu telah mendapatkan kedudukannya yang tetap. Siapa saja yang mengawal ilmu, ia dapat diibaratkan seperti petugas berpakaian dinas yang selalu berjaga di daerah terdepan perbatasan. Setiap orang mendapatkan derajat tertentu di dalam pencariannya, dan setiap orang mendapatkan balasan di akhirat sesuai dengan derajat yang didapatnya pada saat mencari ilmu. Satu-satunya syarat yang dibutuhkan, yaitu objek pencarian ilmu haruslah diridhai oleh Allah keenam atas adab seorang murid adalah, ia tidak boleh mempelajari atau mendalami beberapa atau semua cabang ilmu pada suatu waktu secara bersamaan. Ia harus mempelajari lebih dahulu ilmu yang terpenting bagi kehidupannya, karena hidup tidak cukup untuk menguasai semua cabang ilmu. Seorang murid harus memfokuskan perhatian terhadap ilmu yang paling penting di antara ilmu-ilmu yang ada; yakni ilmu mengenai urusan akhirat. Yang kami maksudkan di sini ialah, bagian muāmalah dan mukāsyafah. Sebab, muāmalah itu akan menuju kepada mukāsyafah. Sedangkan mukāsyafah ialah bentuk pengenalan kepada Allah melalui cahaya yang disematkan oleh-Nya pada qalbu yang bersih, akibat proses ibadah serta mujāhadah. 19310 Di mana, hal itu akan berujung pada tingkatan derajat keimanan seseorang. Seperti pada diri Abu Bakar ash-Shiddiq sebagaimana dinyatakan dalam sebuah riwayat “Seandainya keimanan penduduk bumi ini ditimbang dengan keimanan yang dimiliki oleh Abu Bakar ash-Shiddiq niscaya keimanan Abu Bakar masih lebih berat.” 19411.Hal itu lebih disebabkan adanya “rahasia” yang menetap di dalam jiwa Abu Bakar, bukan karena pengajuan bukti-bukti tentang jatidirinya atau berbagai argumentasi yang pernah ia sampaikan. Sangat mengherankan sikap seseorang yang telah mendengar sabda dari Rasulullah sebagaimana yang saya sebutkan di atas, namun ia justru cenderung untuk meremehkan ucapan “ala sufi” yang didengarnya. Ia bahkan menganggap, bahwa hal itu merupakan rangkaian kebatilan yang sengaja diembuskan oleh kalangan sufi. Berhati-hatilah dalam menyikapi masalah ini. Karena, hal tersebut dapat menyia-nyiakan sesuatu yang pokok utama dalam diri anda. Berusahalah dengan sekuat tenaga untuk memahami rahasia yang terkandung dalam ilmu para ahli fikih dan mutakallimun penyampai kebenaran lainnya. Dan jangan melakukannya, kecuali karena anda ingin mencari kebenaran bahwa sesungguhnya ilmu yang sangat mulia dan paling puncak itu adalah mengenal Allah Inilah samudera yang dasarnya sangat sulit untuk dijangkau. Yang karenanya, derajat manusia termulia terletak pada diri para nabi kemudian para wali, dan diceritakan mengenai dua orang bijak yang sama-sama rajin beribadah, di mana terlihat pada tangan salah seorang dari mereka memegang secarik kain yang bertuliskan “Jika engkau berbuat baik dalam segala hal, maka janganlah engkau mengira bahwa engkau telah berbuat baik terhadap segala sesuatu, sebelum engkau mengenal Allah dan meyakini Dia-lah yang membuat sebab serta yang mewujudkan segala sesuatu itu.”Sedangkan di tangan orang bijak lainnya juga memegang secarik kain yang bertuliskan “Sebelum aku mengenal Allah setelah meminum seteguk air aku merasakan haus kembali. Dan setelah mengenal-Nya, aku mampu merasakan kesegaran tanpa harus meminum apa pun.”Sedikit ilmu, jika itu didapat melalui semangat dan gairah, maka in sya’ Allah akan menyempurnakan ilmu ukhrawi. Tujuan kita dengan pengetahuan ini bukan agar kepercayaan itu diwariskan dari generasi ke generasi. Tujuan kita dengan pengetahuan ini adalah untuk mendapatkan cahaya yang memancar dari kepercayaan yang Allah tanamkan dalam jiwa kita. Jadi, ilmu yang tertinggi dan termulia adalah ilmu mengenal Allah, atau ma ketujuh atas adab seorang murid adalah, ia tidak boleh mendalami cabang ilmu baru, hingga ia menguasai dengan baik cabang ilmu sebelumnya. Sebab, biasanya itu merupakan persyaratan utama bagi pengetahuan yang baru tersebut. Satu cabang ilmu umumnya menjadi pengantar dan penuntun bagi cabang berfirmanالَّذِيْنَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُوْنَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ.“Orang-orang yang telah Kami Allah berikan al-Kitab al-Qur’an kepada mereka, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya.” al-Baqarah [2] 121.Seorang murid hendaknya menuntut ilmu untuk tujuan menghiasi batin dengan sifat-sifat yang dapat mengantarkan hamba ke hadirat Allah dan berada pada posisi para malaikat yang selalu bersanding di dekat-Nya. Jadi, bukan untuk memperoleh kekuasaan, harta dan kedudukan duniawi. Dengan kata lain, seorang murid tidak akan mempelajari secara mendalam satu ilmu, sebelum ia mampu menguasai ilmu pendahuluannya. Sebagaimana Imam Ali pernah berkata “Kalian tidak akan mampu memahami kebenaran, sampai kalian menjadi orang murid yang menguasai kebenaran.”Kewajiban kedelapan atas adab seorang murid adalah, mengetahui sebab-sebab mengapa ilmu itu disebut sesuatu yang sangat mulia. Suatu ilmu dapat dikenali dari dua sisi, kemuliaan buah atau hasilnya, dan keotentikan serta kekuatan prinsip yang dimilikinya. Sebagai contoh, ilmu agama dan ilmu kedokteran. Buah dari ilmu agama adalah mendapatkan kehidupan yang kekal. Sedangkan buah dari ilmu kedokteran adalah memperoleh kehidupan sementara status sosial di dunia. Dari sudut pandang ini, ilmu agama lebih mulia ketimbang ilmu kedokteran. Sebab, hasilnya jauh lebih mulia dan lebih kekal. Contoh lainnya adalah, ilmu matematika dan ilmu astrologi. Ilmu matematika lebih mulia disebabkan dasar-dasarnya yang lebih otentik, argumentatif, dan sini tampak jelas, bahwa ilmu dengan buah berupa mengenal Allah para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, dan para Rasul-Nya merupakan ilmu yang sangat mulia. Demikian pula cabang-cabang dari ilmu kesembilan atas adab seorang murid adalah, mempercantik jiwa dan tindakan dengan kebajikan. Semua itu untuk tujuan menggapai kedekatan dengan Allah dan para malaikat-Nya, serta bersahabat dengan orang-orang yang dekat dengan Allah Tujuan hidup seorang murid seharusnya bukan untuk memperoleh kemilaunya urusan dunia, menumpuk harta dan kekayaan, berdebat dengan mereka yang jahil, serta memamerkan keangkuhan dan kesombongan. Seorang murid yang berusaha untuk memperoleh kedekatan dengan Allah seharusnya mencari ilmu yang dapat menolong dirinya mencapai tujuan dimaksud, yaitu ilmu tentang akhirat dan ilmu-ilmu yang menjadi penunjangnya. Sebagaimana Allah berfirmanيَرْفَعُ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مِنْكُمْ وَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ.“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kalian, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” al-Mujādilah [58] 11.Juga pada firman Allah دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللهِ.“[Kedudukan] mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.” Āli Imrān [3] 163.Dengan kata lain, derajat orang beriman itu bertingkat-tingkat dalam pandangan Allah Sebagian lebih rendah, dan sebagian lainnya lebih tinggi. Derajat tertinggi atas keimanan seorang hamba dimiliki oleh para Nabi, kemudian para wali, lalu para ulama yang mengamalkan ilmunya dalam kebenaran, dan kemudian orang-orang shalih yang mengikuti mereka para ulama yang mengamalkan ilmunya.Allah berfirmanفَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ.“Siapa saja yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya. Dan siapa saja yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat balasannya pula.” az-Zalzalah [99] 7-8.Jadi, seorang murid yang menuntut ilmu dengan tujuan mengharapkan kemuliaan diri dan sekaligus mengharapkan keridhaan Allah niscaya ilmu yang akan didapat akan berguna bagi kehidupannya di alam dunia, dan sekaligus meninggikan derajatnya dalam pandangan Allah kesepuluh atas adab seorang murid adalah, harus tetap memusatkan perhatian pada tujuan utama menuntut ilmu. Bukan demi kekuasaan dan wewenang semata. Di samping untuk tujuan menikmati anugerah kehidupan di alam dunia ini, yang terpenting di atas kesemuanya itu untuk tujuan kebahagiaan negeri akhirat yang lebih kekal dan abadi. Dunia adalah tempat tinggal kita yang sementara. Tubuh menjadi kendaraan menuju tujuan, sedangkan amal menjadi jalan menuju tujuan dimaksud, yaitu menggapai keridhaan Allah dan bukan selain Dia. Pada Allah-lah semua kenikmatan dan kebahagiaan bermuara. Karena itu, berikanlah perhatian yang lebih besar terhadap ilmu-ilmu yang mampu menuntun kita kepada tujuan akhir dari kehidupan karena itu, jenis ilmu terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, ilmu yang dapat kita ibaratkan seperti membeli barang untuk bekal dalam perjalanan. Yang dimaksud dalam jenis ini antara lain, adalah; ilmu kedokteran, hukum fikih, dan ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia di alam dunia. Kedua, ilmu untuk menempuh perjalanan menghadapi rintangan yang sangat berat, sekaligus cara mengtasi rintangan-rintangan dan gangguan-gangguan di sekitarnya. Ilmu jenis ini mampu membersihkan jiwa pemiliknya dari perilaku jahat, dan sanggup membawanya ke tempat tertinggi yang tidak dapat dicapai manusia; kecuali mereka yang mendapatkan karunia dari sisi Allah Ketiga, ilmu dapat kita ibaratkan seperti ilmu mengenai perjalanan haji dengan semua syarat dan rukunnya. Yang dimaksudkan di sini adalah ilmu tentang Allah sifat-sifatNya, dan ilmu tentang para malaikat-Nya. Ilmu ini mustahil diraih, kecuali oleh orang-orang arif yang dekat dengan Allah Sementara mereka yang berderajat lebih rendah dari mereka pun akan memperoleh keselamatan. Sebagaimana Allah berfirmanفَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ. فَرَوْحٌ وَ رَيْحَانٌ وَ جَنَّةُ نَعِيْمٍ. وَ أَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ.“Adapun jika ia orang yang mati termasuk orang-orang yang didekatkan – kepada Allah – , maka ia memperoleh ketenteraman dan rezeki, serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu, karena engkau dari golongan kanan.” al-Wāqiah [56] 88-91.Inilah kebenaran pasti yang mereka pahami dan rasakan melalui perenungan, kontemplasi, musyāhadah penyaksian. Penglihatan yang ada di dalam musyāhadah jauh lebih jelas daripada penglihatan dengan mata lahiriah. Keyakinan mereka tentu lebih kuat setelah mereka menyaksikan sendiri. Sementara kebanyakan orang, beriman akan tetapi tanpa musyāhadah, dan tanpa melihat dengan mata batin mereka yang saya maksudkan di sini bukanlah fisik jantung yang terbuat dari daging, akan tetapi sesuatu yang mempunyai hakikat yang halus atau rahasia. Yaitu, sesuatu yang tidak dapat dipersepsi dengan indera tubuh. Ini adalah dzat spiritual yang langsung bersumber dari sisi Allah yang terkadang disebut dengan an-nafs jiwa, ruh, dan terkadang dinamai dengan qalbu jantung. Qalbu adalah wahana bagi hakikat spiritual untuk menyingkapkan selubung yang menyelimutinya. Sebab, jiwa rūh merupakan bagian dari ilmu yang bersifat wahyu mukāsyafah. Yakni, ilmu yang tidak mungkin dijangkau oleh akal manusia semata, dan tidak boleh diperbincangkan; apalagi diperkenankan adalah membicarakan bahwa jiwa rūh adalah permata yang sangat berharga, dan sekaligus termasuk dalam alam ruh, bukan alam materi. Sebagaimana Allah berfirmanوَ يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ، قُلِ الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّيْ.“Dan, mereka bertanya kepadamu Muhammad tentang rūh. Katakanlah “Ruh itu termasuk urusan Rabbku.” al-Isrā’ [17] 85.Hubungan rūh manusia dengan Allah lebih mulia daripada hubungan rūh manusia dengan segenap anggota tubuhnya sendiri. Kepunyaan Allah segenap makhluk dan rūh. Akan tetapi, yang terakhir ini rūh berderajat lebih mulia dibandingkan ciptaan Allah lainnya. Rūh-lah yang paling berharga, karena dapat memikul amanat Allah Rūh manusia lebih mulia daripada langit dan bumi, berikut segala isinya. Karena, makhluk-makhluk lain tidak mau menerima amanat disebabkan takut pada rūh. Rūh manusia berasal langsung dari sisi Allah dan akan kembali kepada-Nya. Rūh adalah dzat spiritual yang mengendalikan tubuh manusia menuju Allah sebagai diperbarui 20 November pada 12 Agustus Dari 4029 4,782Kali.